Sejarah islam dan kekuasaan
Sejarah sesungguhnya
adalah aktivitas yang dilakukan manusia pada masa lampau, ia hanya akan
bermakna jika dijadikan sebagai cermin secara bijak oleh generasi masa
datang agar tidak terjebak pada lubang kegagalan yang sama yang
dilakukan para pendahulunya. Dengan sejarah kita belajar rekam jejak
agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam menghadapi peristiwa
yang hampir serupa. Karena sejarah tak akan pernah berulang, pengulangan
hanya terjadi pada fenomena fenomenanya.
Allan Navins, sejarawan Amerika Serikat dengan bagus merumuskan bahwa “History is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future”. Hegel, seorang filosof yang menginspirasi Marx, juga pernah mengatakan definisi ihwal sejarah, “What experience and history teach is this-people and government never have learned anything from history”.
Kepingan kepingan masa lalu yang berserak inilah yang menjadi titik
hubung antara masa kini dan masa depan kelak, baik masa lalu itu buram,
gelap, cemerlang, dan kadang tak mengenakkan bagi sebagian pihak. Tetapi
inilah sejarah, ia tak bisa di-rewind seperti apa yang kita
kehendaki secara ideal dan memuaskan semua kalangan. Sejarah telah
menuliskan faktanya sendiri, baik fakta itu dihadirkan atau
disembunyikan di tempat gelap maupun terang.
Sejarah, dengan
demikian adalah pengalaman masa lalu umat manusia dalam ragam bentuknya
yang bisa dinikmati di masa datang, dan semua orang berhak menuliskan
sejarahnya sendiri-meminjam frase sejarawan Carl Becker-Everyman is his own historian.
Bentuk sejarah yang hadir adalah kompleksitas fase perjalanan manusia
dalam kehidupannya sendiri yang mewujud dalam roman, komedi, satir, dan
tragika kehidupan.
Manusia lah yang
membunyikan fakta sejarah, sementara peristiwa sejarah itu sendiri hanya
diam dan membisu. Manusia adalah aktor dan penafsir masa silam. Tak
terkecuali dengan sejarah Islam yang penuh silang sengkarut di masa
lampau. Politik kekuasaan Islam di masa keemasannya yang berakibat pada
nasib umat Islam di masa kini tidak hanya penuh puja puji kegemilangan,
kejayaan, dan romantisme kehebatan, tetapi juga diwarnai dengan intrik
politik busuk, percikan darah, dan hunusan pedang bagi lawan politik
yang tak sepaham. Kekuasaan memang selalu menyilaukan dan melenakan.
Sungguh benar apa yang sering kita dengar bahwa dalam politik tak ada
lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Bila ditilik lebih
lanjut akan tampak kegetiran kegetiran masa lampau yang tak banyak
terceritakan dalam kisah kisah sejarah “resmi”, karena kita biasanya tak
terlalu suka akan hal hal buruk yang diterusterangkan secara vulgar.
Keterusterangan akan kejujuran sejarah adalah hal yang perlu
dikembangkan agar kita semua bisa memandang sejarah secara obyektif
tanpa dimasuki kepentingan sesaat yang jangka pendek. Tanpa itu, nasib
umat Islam ke depan tak akan lebih baik dari masa sekarang.
Syafii Ma’arif dalam Titik titik Kisar di Perjalananku (2006:229)
menulis dengan rasa getir ihwal nasib umat pada saat ini, “Teori
politik Islam yang diciptakan dalam lingkungan budaya imperial dan
dinastik harus dibongkar. Tanpa pembongkaran ini, Islam akan menjadi
tawanan dari berbagai kepentingan dan intrik politik yang amoral.
Kegagalan umat Islam berurusan dengan kekuatan modernitas tidak boleh
lalu lari berlindung dalam kungkungan masa lampau yang diidolakan secara
tidak cerdas dan kritikal”.
Wanti wanti Syafii
Ma’arif menyiratkan beberapa hal bahwa setiap umat Islam akan menuliskan
formula sejarahnya sendiri, bahwa kejayaan Islam di masa silam tidak
boleh dijadikan pelarian dan di puji tanpa syarat serta tidak ada
sedikit pun ruang kritik terhadapnya, bahwa semangat antikuarian yang
masih diidap oleh sebagian umat Islam adalah sebentuk kegamangan dalam
menghadapi realitas jaman yang senantiasa berubah. Sedangkan, sejarah
adalah produk dari manusia yang tentunya tidak akan lepas dari segala
khilaf karena manusia fitrahnya adalah manusiawi. Nurcholish Madjid
pernah berujar bahwa sejarah adalah sejarah. Human history is nothing sacred about it. Sejarah tidak sakral.
Ya, sejarah tidaklah
sakral. Sejarah bukanlah benda mati, ia memerlukan penafsiran dan
penulisan ulang bagi setiap jamannya. Dan itu hanya akan berhasil jika
kita terbuka terhadap sejarah dan penafsiran sejarah. Berterus terang
terhadap apapun yang pernah terjadi tanpa bias dan distorsi, termasuk
dalam sejarah umat Islam yang telah berlalu ratusan tahun. Namun sangat
disayangkan ketika ada segelintir yang mencoba menulis ulang sejarah
Islam ternyata disikapi secara sinis, takfir, dan dicap bacaan terlarang
oleh otoritas yang merasa otoritatif mengeluarkan fatwa terhadap
kebebasan berpikir seseorang. Bahkan tak jarang vonis mati disematkan
padanya. Farag Fouda adalah salah satu contoh.
Farag
Fouda adalah salah satu intelektual Mesir yang pernah merasakan vonis
takfir oleh sejumlah ulama di Mesir. Beberapa yang lain diantaranya
adalah Qasim Amin, Ali Abd al Raziq, Taha Husain, Naguib Mahfudz, dan
Nasr Hamid Abu-Zayd. Jauh sebelum itu, ratusan tahun ketika Daulah
Umayyah dan Abbasiyah berkuasa, beberapa kasus serupa pernah terjadi.
Umat Islam tidak bisa melupakan represi yang dirasakan oleh Said bin
Jabir dan Said bin al Musayyib pada dinasti Umawiyah. Begitu pula dengan
Hasan al Basri, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafii yang mendapat
tekanan dari rezim penguasa. Bahkan secara khusus, umat Islam masih
merasakan kasus mihnah yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal dan kasus nukbah yang dirasakan Ibn Rusyd (Tashwirul Afkar
no. 8 tahun 2000:30). Dan jangan lupa, di Indonesia pun kasus takfir
pernah dialamatkan pada Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh muda NU dan
punggawa Jaringan Islam Liberal hanya karena menulis sebuah artikel di
harian nasional tentang menyegarkan kembali pemahaman Islam pada
November 2002.
Karya Farag Fouda yang banyak menuai kontroversi dan hujatan banyak pihak di Mesir adalah ketika ia meluncurkan buku berjudul al Haqiqah al Ghaibah.
Dalam bukunya ini ia menceritakan sisi sisi kelam praktik politik umat
Islam dan melakukan interpretasi terhadap hubungan Islam sebagai agama
serta Islam jika didudukkan dalam bingkai negara. Tak ayal, ia mesti
menebus kebebasan berpendapatnya dengan meregang nyawa pada 1992.
Sebagai
seorang intelektual, pemikir, dan penggiat hak asasi manusia, Fouda
tentu tidak asal tulis dalam membeberkan kebenaran sejarah yang
seringkali telah lama dibenamkan oleh sebagian pihak yang
berkepentingan. Padahal, Islam sebagai agama tak akan berkurang
kemuliaannya jika hanya umatnya pernah bertikai di masa
lalu dan melakukan keganjilan sejarah yang mungkin saja dinilai minor di
masa kini. Fouda dengan cermat menelisik kembali sumber sumber klasik
dalam menemukan sejarah yang dihilangkan, yang ironisnya, sumber sumber
bacaan klasik itu sangat dekat dengan keseharian para pengkritik Farag
Fouda.
Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini-Kebenaran yang Hilang
penerbit Paramadina-Fouda melakukan pembacaan baru terhadap generasi
salaf pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat. Sebuah generasi yang mendapat
tempat istimewa karena pernah dididik langsung oleh tangan Rasulullah.
Sebuah generasi yang semasa hidupnya pernah bersama sama rasul dan
menjadikannya sebagai sumber fatwa utama di tengah umat Islam yang mulai
menanjak pamornya. Ini adalah sebuah generasi yang sampai saat ini
masih menjadi buah bibir dan berharap generasi seperti ini muncul lagi
di jaman ini. Tak heran, ada sebagian golongan menahbiskan dirinya
sebagai kaum salafi.
Menurut Fouda,
periode salaf adalah periode yang biasa biasa saja, tak ada yang
istimewa dengannya, semuanya tampak manusiawi dan berjalan di atas hukum
sejarah. Kalaupun ada catatan kesuksesan, diantaranya adalah semakin
luasnya kekuasaan Islam yang tidak saja tersebar di jazirah Arab
melainkan juga mulai berdenyut dan merambah kawasan Asia, Afrika, dan
Eropa. Di sisi lain, catatan memalukan dan memilukan ikut tertoreh pada
jaman al-khulafa al-Rasyidun yang dalam sejarah pernah dinahkodai oleh
Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
Sebagian dari kita
mungkin tak menyadari bahwa tiga dari empat khalifah ini mengakhiri masa
kekuasaannya dengan tragis, bersimbah darah dan menyisakan persoalan
bagi periode selanjutnya. Hanya Abu Bakar yang wafat secara normal, tiga
lainnya mati keji. Sebenarnya, sejak wafat nabi, friksi itu mulai
tampak ke permukaan. Pertentangan kaum Muhajirin dan Anshar dalam
menentukan pemimpin pasca nabi adalah pangkal persoalannya dan peristiwa
Tsaqifah Bani Saidah adalah puncaknya. Bahkan hingga Abu Bakar dilantik
menjadi khalifah pun, Saad bin Ubadah-seorang pemuka Khazraj-dan sampai
meninggalnya melakukan sikap oposisi terhadap kepemimpinan Abu Bakar.
Hal ini tentu wajar saja dan bukan aib yang harus ditutup tutupi. Bahwa
kekuasaan adalah menggiurkan, bahwa kekuasaan adalah kompetisi, dan
dalam tradisi alih kekuasaan selalu saja terjadi persaingan antara
mayoritas dan minoritas.
Fouda dalam buku Kebenaran yang Hilang juga
mempertanyakan kebijakan yang ditempuh oleh Abu Bakar Shidiq ketika
melakukan penumpasan terhadap orang orang yang dituduh murtad. Apakah
mereka yang dituduh murtad itu benar benar murtad dari Islam ataukah
hanya karena mereka enggan membayar zakatnya kepada Abu Bakar dan Baitul
Mal. Kebijakan Abu Bakar dipertanyakan oleh Umar yang merasa tidak
sreg, karena orang orang yang ditumpas oleh Abu Bakar tersebut membaca
syahadat. Jawaban Abu Bakar menyatakan bahwa pengucapan syahadat ada
konsekuensinya, dalam konteks ini yakni menyerahkan zakat ke Baitul Mal.
Padahal, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah ijtihad. Sementara
bagi Umar, tulis Fouda, ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia
sebetulnya sedang teringat akan sebuah hadis rasul yang menyatakan bahwa
seorang muslim tidak berhak dibunuh kecuali tiga alasan: berzina
setelah rumah tangga, murtad setelah beriman, atau diqisas karena
melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Menurut Fouda, hal
ini menunjukkan bahwa ijtihad Abu Bakar yang notabene orang dekat
Muhammad Saw tidaklah sakral, ia bukan teks suci tanpa ruang kritik,
buktinya Umar pun pernah menanyakan ihwal kebijakannya. Dan setelah Abu
Bakar meninggal dan diganti oleh khalifah selanjutnya, kebijakan ini pun
tak dilanggengkan.
Pengganti Abu Bakar,
yakni Umar, menurut Fouda adalah sosok agamawan dan negarawan yang
berani melakukan ijtihad tanpa kehilangan substansi teks yang
dimaknainya. Ia juga adalah sosok asketis-walau ia khalifah- tanpa
tanding pada jamannya. Al Mas’udi dalam Muruj al Dzahab seperti
yang ditulis oleh Fouda menceritakan “Ketika Umar melaksanakan haji,
selama perjalanan pergi dan pulang ke Madinah, ia hanya menyedekahkan
uang sekitar 16 Dinar. Ia bahkan mengatakan kepada anaknya , Abdullah:
‘Kita telah berbelanja secara berlebihan dalam perjalanan ini’.”
Bandingkan “kekayaan” Umar dengan Usman ketika wafatnya. Tatkala Usman
terbunuh, di dalam brankasnya terdapat 30 juta 500 ribu dirham, serta
100 ribu dinar. Semuanya dijarah dan hilang tak bersisa dalam
pemberontakan yang mengakhiri hidupnya. Ia juga meninggalkan seribu ekor
unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah sekitar 200 ribu dinar
untuk Beradis, Khaibar, dan Wadil Qura.
Farag Fouda dengan
tajam mengatakan bahwa tak ada salahnya para sahabat nabi menjadi kaya
semau maunya dengan apa yang diusahakan, namun, lanjut Fouda, mengukur
kredibilitas pemuka pemuka sahabat nabi tentu mesti berbeda dengan orang
kebanyakan, mereka mestinya lebih asketis daripada yang lain. Karena,
di mata generasi selanjutnya, para sahabat yang dekat dengan nabi
mempunyai posisi yang terhormat dilihat dari dari segi keimanan dan
perilakunya sehari hari.
Fouda tak hanya
mengupas pembacaan ulang terhadap sejarah al-Khalifah al-Rasyidun,
tetapi juga menguliti kebobrokan para khalifah masa Umayyah dan
Abbasiyah. Di balik kecemerlangan prestasi yang diukir oleh keduanya,
tersimpan borok borok sejarah yang mestinya tidak terulang lagi di masa
depan. Terbukti, sistem khilafah yang dianutnya tak serta merta membawa
kedamaian, rasa aman, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pada titik ini
kita mesti menyadari bahwa sejarah Islam tak hanya menyimpan suka cita
tetapi juga banyak membawa duka cita yang tak tersampaikan secara terang
dan jelas.
Hanya dengan jujur
kepada sejarah lah kita bisa menjadi orang yang bijaksana sebagaimana
diungkapkan Sejarawan Syafii Ma’arif dalam otobiografinya Titik titik Kisar di Perjalananku bahwa
“semua hasil sejarah pasti terikat dengan ruang dan waktu. Masa lampau
adalah milik mereka yang menciptakan, bukan milik kita. Milik kita
hanyalah semua yang kita ciptakan, sekalipun kita tidak mungkin melompat
dari sebuah kekosongan. Disinilah perlunya orang belajar sejarah secara
cerdas, jujur, dan kritikal”(2006:402).
No comments:
Post a Comment