MENGUSUNG KEMBALI KHAZANAH
IDENTITAS BUDAYA BANGSA
Husamah
Indonesians are actually representation of
rich nation because they have many cultures with various diversities. On the
other hand, the fact is that there are so many cultures have lost, entirely
disappeared, or stolen by others. It is because we are remiss to behave
properly on the cultures and carry out them. Therefore, it needs institutional
approach in the form of government’s concrete steps and reinforcement on
education’s role.
Prolog
Batik Indonesia
secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam Daftar Representatif
sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia
(representative list of the intangible cultural
heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee)
tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi. UNESCO mengakui batik Indonesia
bersama dengan 111 nominasi mata budaya dari 35 negara, dan yang diakui dan
dimasukkan dalam Daftar Representatif sebanyak 76 mata budaya. Sebelumnya pada
tahun 2003 dan 2005 UNESCO telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung
Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (masterpieces
of the oral and intangible cultural heritage of humanity) yang pada tahun
2008 dimasukkan ke dalam Daftar Representatif. [1]
Disadari atau tidak batik Indonesia sarat dengan teknik, simbol, dan
budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia mulai dari lahir sampai
meninggal. Kekayaan ragam batik yang datang dari beberapa wilayah dan provinsi,
menjadi bukti bahwa Indonesia
layak menjadi sumber budaya di mana batik tumbuh dan berkembang. Tradisi
membatik diturunkan dari generasi ke generasi. Batik terkait dengan identitas
budaya rakyat Indonesia dan
melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreativitas
dan spiritual rakyat Indonesia.
Batik Indonesia
memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Bagi masyarakat Jawa
misalnya, batik bukan hanya sebuah kain bercorak, tetapi juga penggambaran
filosofi kehidupan dan warisan budaya leluhur yang harus dijaga.[2]
Masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO
representative list of intangible cultural heritage of humanity atau Wayang
dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia (masterpieces of the oral and intangible cultural
heritage of humanity) memang merupakan bukti pengakuan internasional
terhadap salah satu mata budaya Indonesia. Namun, jika kita punya itikad baik, sejatinya
inilah momentum untuk introspeksi diri terkait kelalaian kita terhadap warisan
atau khazanah budaya bangsa. Mengapa?
Tulisan singkat ini, dengan segala kekurangan dan keterbatasan ilmu
penulis dan sebagai seorang awam, akan mencoba mengangkat “cermin” kealfaan itu
sekaligus mencari bentuk sintesis
pemecahan masalah identitas kebudayaan bangsa. Oleh karena itu, uraian dalam
artikel ini dibatasi pada konsep kebudayaan dan identitas budaya nasional, ancaman terhadap kekayaan budaya bangsa, dan solusi yang
ditawarkan yaitu kaitannya dengan peran pemerintah dan pendidikan.
Kebudayaan dan Identitas Kebudayaan
Nasional
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti akal. Kebudayaan
dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Bila dilihat dari
kata dasarnya, kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari budi daya yang
berarti daya dari budi. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara
budaya yang berarti daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.[3]
Kebudayaan dapat didefinisikan juga sebagai suatu keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi
tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada
anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan
melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam
bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang
dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai
suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan
anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang
berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya
sama.[4]
Dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing
berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan
kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) bahasa dan
komunikasi; (2) ilmu pengetahuan; (3) teknologi; (4) ekonomi; (5) organisasi
sosial; (6) agama; dan (7) kesenian.[5]
Secara sederhana, pengertian
kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya Dasar (IBD) mengacu pada pengertian
sebagai berikut:[6]1)
Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui belajar.
Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjukkan hasil fisik karya manusia,
meskipun hasil fisik karya manusia sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola
berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusia. Kebudayaan sebagai
suatu sistem memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil
renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu
permasalahan yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap
benar dan baik; 2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah
budaya atau sering disebut kultur (culture,
bahasa Inggris) yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan
tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai
yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya
dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang
berulang-ulang tentang sesuatu permasalahan yang dihadapi manusia.
Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam
perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan
cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang
merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di
dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam perspektif
antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu
sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya
terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang
menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.[7]
Menurut Djojodigoena dalam bukunya Asas-asas Sosiologi (1985) mengatakan
bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.[8]
Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada
dalam pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan
bersumber pada kenyataan yang ada. Karsa adalah kerinduan manusia untuk
menginsyafi sangkan paran, yakni dari
mana manusia sebelum lahir (sangkan),
dan kemana manusia sesudah mati (paran).
Lalu muncullah berbagai sistem kepercayaan dan agama. Rasa adalah kerinduan
manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah
perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian
menghasilkan berbagai macam kesenian.
Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan
jenis-jenisnya, yaitu: 1) hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan
tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah;
tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan
dan kesusilaan; 2) angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran
bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan; 3) kepandaian manusia, yaitu yang
menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan,
kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis;
semuanya bersifat indah.[9]
Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas nasional”
dibentuk oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Identitas dapat
diartikan sebagai ciri, tanda atau jatidiri, sedangkan “nasional” dalam konteks ini berarti
kebangsaan. Dengan demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai
jatidiri nasional atau kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa
tentu berbeda dengan jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar
belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia
memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman sejarah yang sama itu dapat
menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang
kemudian pada ujungnya melahirkan identitas nasional.[10]
Lahirnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat
dilepaskan dari dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan
dengan geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subjektif, yaitu faktor-faktor
historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.[11]
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells mengemukaan teori tentang
munculnya identitas nasional sebagai hasil interaksi historis antara empat
faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan
faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama
dan yang sejenisnya. Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan
teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan sentraliasi monarkis. Faktor
ketiga mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya
birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat meliputi
penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori
kolektif rakyat. Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses
pembentukan identitas nasional bangsa Indoensia, yang telah berkembang dari
masa sebelum Indonesia
mencapai kemerdekaan.[12]
Munculnya Sumpah Pemuda Oktober 1928, setidaknya sangat mendukung upaya
pencarian nasionalisme Indonesia
sekaligus penemuan identitas nasional bangsa Indonesia.[13]
Gagasan kebudayaan nasional sebagai identitas nasional sudah
dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Gagasan itu kemudian diikuti oleh
seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia
yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia
dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya
tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kebudayaan sebagai identitas nasinal menunjukkan betapa kebudayaan adalah aspek
yang sangat penting bagi suatu bangsa karena jelaslah bahwa kebudayaan juga
merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri.
Kebudayaan nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan
lokal atau kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan
norma-norma berbangsa dan bernegara. Kebudayaan nasional adalah gabungan dari
kebudayaan daerah yang ada di negara tersebut. Kebudayaan daerah
adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara
turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang
lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah
telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi
suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain.
Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan
terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang
dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama
lain.[14]
Kebudayaan nasional Indonesia
secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia.
Tanpa budaya-budaya itu tak ada kebudayaan nasional. Itu tidak berarti kebudayaan
nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara.
Kebudayan nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan
realitas. Kebudayaan nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya
Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat
dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.[15]
Menyikapi perkembangan zaman, selanjutnya, kebudayaan
nasional Indonesia perlu
diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya
adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial
yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta
kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling
mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama
menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset)
dan sikap mental, memajukan adab dan
kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional.
Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan, “Siapa kita
(apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa
semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan
bangsa dan tanah air kita?” [16]
Ancaman Terhadap Kekayaan Budaya
Indonesia sebagai negara kepulauan
memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.000 lebih pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan
Republik Indonesia,
yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama.[17]
Di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia
dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang
memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang,
Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di
Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari
dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dan sebagainya;
Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar dan sebagainya; Sulawesi: Bugis, Makassar,
Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dan sebagainya.; Maluku: Ambon, Ternate, dan
sebagainya; Papua: Dani, Asmat, dan sebagainya)[18]
Indonesia tersusun dari jumlah 470
suku bangsa, 19 daerah hukum adat.[19]
Jika ditinjau dari segi bahasa, ada sekitar 726 bahasa daerah yang tersebar di seluruh
nusantara. Mulai dari penutur yang hanya berjumlah belasan orang, seperti
bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang berjumlah puluhan juta orang,
seperti bahasa Jawa dan Sunda. Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati
daerah atau wilayah dalam sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas
provinsi. Etnis Jawa, misalnya, menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa
tersebar ke seluruh pelosok Indonesia,
bahkan sampai ke negara Suriname.
Di setiap daerah itu terdapat pula sub-sub etnis dengan sub budaya yang berbeda
pula, misalnya, Solo dan Yogyakarta, sampai ke
Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa orang
Solo dan Daerah Istimewa Yogyakarta
sering dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang halus, tutur sapa
yang lembut, dan budi bahasa yang santun. Hal itu menandai keunggulan
budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat daerah tertentu yang
berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya lembut. [20]
Indonesia
memiliki ratusan kelompok etnis. Tiap etnis memiliki budaya yang berkembang
selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa,
termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya
tarian Jawa
dan Bali
tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang
menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana
dan Baratayuda.
Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di
antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera
seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati
dari Aceh.
Secara graris besar khazanah kekayaan atau artefak budaya tradisional Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam,
tarian,
ritual, ornamen,
motif
kain, alat musik, cerita
rakyat, musik dan lagu, data makanan, seni pertunjukan, produk arsitektur, permainan tradisional, senjata dan alat perang, naskah kuno dan prasasti dan tata
cara pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.[21]
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari berbagai
daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia
‘dicuri’ oleh negara lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni
musiknya.
Seni pantun, gurindam, dan
sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun
lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan,
pentas seni, dan lain-lain. Di bidang busana, warisan budaya yang terkenal di
seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik
meliputi Yogyakarta, Surakarta,
Cirebon,
Pandeglang,
Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya
dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara
lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera
Barat (Minangkabau), kainulos dari Sumatra
Utara (Batak),
busana kebaya,
busana khas Dayak
di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi
Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.[22]
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat
dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia
mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Beberapa contoh yang diuraikan
di atas sengaja untuk membuktikan opini di atas dan sekaligus menegaskan bahwa Indonesia
adalah benar-benar bangsa yang kaya raya, memiliki segalanya. Indonesia adalah
satu-satunya negeri dengan kekayaan alam terlengkap di dunia. Indonesia dapat
kita ibaratkan sebagai seorang primadona
yang menjadi rebutan para pengagumnya. Mereka melakukan apapun juga untuk
merebutnya, meskipun dengan cara-cara yang memalukan dan vulgar seperti
pencurian kekayaan budaya, mematenkan, atau menggunakan secara komersial.
Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang
diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial
oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun pemerintah negara lain[23]:
Tabel
1. Daftar Artefak Budaya Indonesia
No
|
Nama Artefak Budaya
|
Daerah Asal
|
Pelaku
|
1
|
Batik |
Jawa |
Produsen sepatu Adidas |
2
|
Naskah Kuno |
Riau |
Pemerintah Malaysia |
3
|
Naskah Kuno |
Sumatera Barat |
Pemerintah Malaysia |
4
|
Naskah Kuno |
Sulawesi Selatan |
Pemerintah Malaysia |
5
|
Naskah Kuno |
Sulawesi Tenggara |
Pemerintah Malaysia |
6
|
Rendang |
Sumatera Barat |
Oknum WN Malaysia |
7
|
Sambal Bajak |
Jawa Tengah |
Oknum WN Belanda |
8
|
Sambal Petai |
Riau |
Oknum WN Belanda |
9
|
Sambal Nanas |
Riau |
Oknum WN Belanda |
10
|
Tempe |
Jawa |
Beberapa Perusahaan Asing |
11
|
Lagu Rasa Sayang Sayange |
Maluku |
Pemerintah Malaysia |
12
|
Tari Reog Ponorogo |
Jawa Timur |
Pemerintah Malaysia |
13
|
Lagu Soleram |
Riau |
Pemerintah Malaysia |
14
|
Lagu Injit-injit Semut |
Jambi |
Pemerintah Malaysia |
15
|
Alat Musik Gamelan |
Jawa |
Pemerintah Malaysia |
16
|
Tari Kuda Lumping |
Jawa Timur |
Pemerintah Malaysia |
17
|
Tari Piring |
Sumatera Barat |
Pemerintah Malaysia |
18
|
Lagu Kakak Tua |
Maluku |
Pemerintah Malaysia |
19
|
Lagu Anak Kambing Saya |
dari Nusa Tenggara |
Pemerintah Malaysia |
20
|
Kursi Taman
Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara |
Jawa Tengah |
Oknum WN Perancis |
21
|
Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara |
Jawa Tengah |
Oknum WN Inggris |
22
|
Motif Batik Parang |
Yogyakarta |
Pemerintah Malaysia |
23
|
Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti |
Bali |
Oknum WN Amerika |
24
|
Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman
Obat |
Asli Indonesia |
|
25
|
Badik Tumbuk Lada |
- |
Pemerintah Malaysia
|
26
|
Kopi Gayo |
Aceh |
perusahaan multinasional (MNC) Belanda
|
27
|
Kopi T oraja |
Sulawesi Selatan |
perusahaan Jepang
|
28
|
Musik Indang Sungai Garinggiang |
Sumatera Barat |
Pemerintah Malaysia
|
29
|
Kain Ulos |
- |
Pemerintah Malaysia
|
30
|
Alat Musik Angklung |
Jawa Barat |
Pemerintah Malaysia
|
31
|
Lagu Jali-Jali |
- |
Pemerintah Malaysia
|
32
|
Tari Pendet |
Bali |
Pemerintah Malaysia
|
Pertanyaan
kita sekarang mengapa pihak asing atau pun negara lain dengan begitu beraninya
mengklaim budaya nasional Indonesia?
Menurut Maman S Mahayana, konflik klaim kebudayaan sesungguhnya lahir dari
kondisi geografis yang berdampingan, sebagai entitas kembar identik antara dua
negara. Akar budaya dan karakter manusia yang hampir serupa, ditambah
dinamisasi serta mobilitas manusianya dari waktu ke waktu, akhirnya melahirkan
banyak produk budaya yang mirip (grey
culture). Namun, sama halnya dengan manusia -- yang meski sekembar apa pun
-- pastilah ada ciri tertentu
masing-masing. Begitu pula bangsa. Tiap-tiap bangsa memiliki karakter khas yang
membedakan satu dari yang lain.[24]
Karena itu, selama kedua pihak konsisten pada kekhasan masing-masing, niscaya
potensi konflik pun akan jarang muncul.
Jadi,
mengapa konflik klaim budaya terjadi antara Indonesia-Malaysia?[25]
Pertama, adanya kemunculan pihak yang
secara agresif dan tiba-tiba mengklaim sebuah identitas tertentu. Padahal,
setelah sekian lama, identitas tersebut menjadi ciri khas ”kembarannya” dan
mereka hidup dalam situasi harmonis. Jauh sebelum terjadinya insiden Tari Pendet,
tari itu telah dikenal publik Indonesia
dan mancanegara sebagai bagian dari tradisi Bali.
Karena itu, sangat mengagetkan publik Indonesia
ketika tari pendet tiba-tiba dinyatakan sebagai bagian dari identitas Malaysia.
Kedua, klaim dilakukan secara resmi oleh
pemerintah. Dalam konteks politik, tindakan apa pun yang dilakukan pemerintah
secara publik merepresentasikan pendapat resmi negara tersebut, tidak
terkecuali iklan kunjungan wisata Malaysia kali ini. Akibatnya,
respons yang muncul dari negara pemilik identitas sangat frontal.
Ketiga, adanya kemampuan yang tidak
imbang di antara kedua entitas dalam mendefinisikan dan melestarikan kebudayaan
masing-masing. Tidak dipungkiri jika kini Malaysia berkembang menjadi salah
satu negara yang diperhitungkan di Asia Tenggara, baik di bidang teknologi, ilmu
pengetahuan, maupun ekonomi. Celakanya, keunggulan tersebut berbanding lurus
dengan upaya Malaysia
mengklaim beberapa identitas kebudayaan penting negara tetangganya. Kasus klaim
atas Batik, Reog, dan lagu Rasa Sayange merupakan salah satu bukti atas asumsi
tersebut. Menariknya, upaya Malaysia
tersebut biasanya telah disertai dengan upaya legalitas hukum untuk mematenkan
klaim yang dimaksud (de jure).
Sementara itu, Indonesia
biasanya hanya mengandalkan pada kondisi kepemilikan de facto tanpa banyak mempertimbangkan aspek hukum.
Semakin
banyaknya khasanah budaya bangsa yang hilang ternyata lebih banyak berujung
pada faktor terakhir (ketiga) yaitu kelalaian kita dalam menyikapi sekaligus
mengelola kekayaan itu. Kita memiliki kemampuan yang tidak imbang akibat
lemahnya semangat dan penghargaan terhadap budaya sementara bangsa lain lebih
memiliki kesadaran yang juga diwujudkan dalam tindakan nyata mereka. Akhirnya, kita
terluka dan malu, karena kita sadar sebagai pemilik kebudayaan itu, kita tidak
memperhatikannya. Selama ini kebudayaan selalu dipinggirkan pemerintah dan
masyarakat tak lagi peduli. Ketidakpedulian warga negara Indonesia terhadap kebudayaannya itupun yang
membuat seluruh bangsa ini tergopoh-gopoh melakukan pendataan kesenian asli Indonesia, ketika
ada klaim dari negara lain. Menyaksikan klaim negara lain, kita marah, tetapi
setelah itu kita tidak pernah menanganinya secara baik. Akhirnya, secara
perlahan-lahan kebudayaan bangsa ini justru punah. Jika mau jujur, wajah kita hampir
sama seperti para polisi dalam film-film India, yakni selalu terlambat
datang ketika semua masalah sudah tuntas. Kita selalu tidur jika berbicara tentang
budaya dan kebudayaan, juga aset dan pusaka bangsa. Baru setelah dipungut dan
diambil orang atau negara lain, kita baru sadar, terjaga dan terkaget. Tidak
hanya itu, kita pun panik, berteriak-teriak, dan ribut-ribut.
Kondisi ini tentunya berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan Malaysia.
Mereka sangat sadar akan eksistensi kebudayaan. Kebudayaan adalah senjata
terbaik untuk diplomasi internasional dengan potensi bisnis yang juga sangat
bagus. Malaysia
tahu mereka kekurangan budaya, mereka pintar melihat kebudayaan negara
tetangganya, dan mereka menghargai budaya untuk mencari keuntungan, sedangkan
pemerintah kita tidak peduli. Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia
sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni
budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga
menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan pemerintah, swasta dan
pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai
buku. Dalam buku Spirit of Wood The Art
Malay Woodcarfing, yang merupakan seni budaya yang berkembang hanya di
wilayah Kelantan, Terengganu, dan Pattani, misalnya, diulas berbagai seni ukir
kayu, pembuatan keris, gunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur
rumah, dan perkakas rumah tangga lainnya.[26]
Ancaman
besar lain yang memiliki efek terhadap identitas budaya bangsa adalah perubahan
dalam masyarakat, terjadi karena adanya gelombang globalisasi yang melahirkan budaya
global.[27]
Proses globalisasi budaya yang berbarengan dengan globalisasi ekonomi serta
pasar akan merupakan ancaman terhadap budaya suatu bangsa. Kalau sebelumnya
budaya suatu bangsa yang tumbuh terisolir dan berkembang secara mantap dan
statis, maka dalam dunia terbuka keadaan demikian kian terusik. Apabila budaya
bangsa terusik maka terusiklah identitas bangsa itu. Berbagai perubahan
fundamental terus dan akan berlangsung di semua aspek kehihupan manusia dalam
era globalisasi. Kemajuan teknologi mengakibatkan interaksi budaya berjalan
semakin intensif dan terbuka sehingga berdampak pada terjadinya perubahan
budaya yang sangat fundamental. Globalisasi budaya menyebakan perubahan pola gaya hidup, bahkan nilai–
nilai dan tatanan kehidupan manusia. Dalam era globalisasi budaya ada tiga
aspek kehidupan yang berubah dan cenderung terus berubah, yaitu budaya 3–F,
budaya makan (food), budaya berbusana
(fashion) dan budaya memenuhi
kesenangan hidup (fun).[28]
Derasnya
arus informasi akhirnya menyebabkan lunturnya kecintaan masyarakat terutama generasi
muda bangsa terhadap peninggalan budaya tradisional (budaya asli) warisan nenek
moyang. Anak-anak, generasi muda dan kaum dewasa, kini tidak lagi mempunyai
rasa ketertarikan dan minat terhadap budaya asli Indonesia. Bahkan parahnya ada
sebagian golongan yang apatis dan apriori terhadap budayanya sendiri. Kondisi
ini semakin diperparah dengan makin sukanya masyarakat mengadopsi dan bangga
terhadap budaya asing. Mereka lebih gengsi berperilaku seperti orang barat dengan
keseniannya juga, serta meletakkan posisi budaya bangsa sebagai budaya yang
marginal atau kelas rendahan.
Mengusung Kembali Identitas Budaya
Setelah diamandemen, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat
(1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang
terkandung di dalamnya. Pertama,
"Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat
kedua berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa
kebudayaan Indonesia
adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga,
"….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya" merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang
perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa.
Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah
dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan
bangsa.[29]
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah
semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa, khususnya pemerintah
secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk
menyelamatkan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar
pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi
besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan
sumberdaya, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya.
Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan
selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan
menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak
memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah.
Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan
publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih
sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan
buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak
cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan
tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,[30]
misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang
disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang
disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar
hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan
dilengkapi dalam bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya
mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk
melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan
nasional. Itu dengan melibatkan semua
pihak se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai
fasilitas teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian
dan apresiasi kebudayaan nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat
berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi
dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia atau
warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi
kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang
positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang
terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya menyaring budaya
asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.
Salah satu dimensi lain yang tidak bisa diabaikan dalam upaya
mengusung kembali khasanah identitas budaya bangsa adalah dunia pendidikan.
Karena ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya yang
berdampingan dengan globalisasi ekonomi, maka strategi yang harus diutamakan
adalah strategi budaya yang berbasis penguatan pendidikan. Sumberdaya manusia
yang peka terhadap identitas budaya, serta berdaya saing tiggi juga berwawasan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dibangun melalui pendidikan.
Pendidikan,
baik formal maupun non-formal adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan
adalah sistem nilai yang kita hayati.[31]
Dalam pandangan Daoed Joesoef[32]
kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah
diperbarui ini, masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekadar pendukung
budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya. Dalam hubungannya
dengan meneguhkan identitas kebudayaan, pendidikan merupakan wahana sentral
dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku yang semakin
menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda.
Wacana tersebut dalam tahap implementasinya mengharuskan
pendidikan yang diterapkan bersumber dari bentuk kurikulum yang sarat muatan
atau nilai penguatan identitas budaya nasional. Ini berarti kurikulum yang
bermuatan budaya nasional akan sama antara satu daerah yang satu dengan daerah
yang lain, tetapi akan berbeda ketika menyangkut identitas budaya lokal
masing-masing. Selain membagi dan berbagi pengetahuan mengenai adat istiadat
lokal dan nasional, nilai-nilai budaya bersama juga harus disampaikan dalam
proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional.
Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal maupun nasional dan pemahaman mengenai
nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses pendidikan berbasis nilai-nilai
budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia yang bangga terhadap
tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya
yang kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga kedaulatan,
kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya, dalam hal ini adalah
identitas kebudayaan nasional.
Epilog
Tulisan ini pun secara
sengaja tidak akan berakhir pada sebuah kesimpulan sebagaimana layaknya. Namun,
ada baiknya kita sedikit menyadari bahwa kebijakan konkrit sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas medesak untuk dilakukan agar bangsa ini tidak
terjerembab ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya. Strategi kebudayaan yang monolitik mesti
dipudarkan oleh upaya pemerintah memfasilitasi serta mengadvokasi setiap hak
sosial-budaya yang dimiliki kebudayaan lokal. Jika ingin menyelamatkan 'jati
diri bangsa', maka strategi kebudayaan yang usang perlu dibuang, karenanya,
politik kebudayaan perlu direartikulasi dan revitalisasi dalam nuansa baru yang
lebih memberdayakan, bukan menentukan, tidak jatuh pada logika hasrat
materialistik-kapitalistik semata.
Beberapa saran yang dapat diajukan terkait dengan pendidikan
adalah;
1. Merancang sebuah kurikulum yang sarat muatan budaya lokal dan nasional
yang diakui dan dijadikan identitas bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan
sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah
yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal ini tentu tidak akan
menambah beban siswa daripada harus menjadi mata pelajaran sendiri. Tentunya
wacana ini akan valid jika didukung penelitian yang tepat dan sesuai.
2. Mmenerapkan kurikulum yang tersebut mulai dari tingkat pendidikan yang
paling rendah.
3. Menentukan metode dan media pembelajaran yang paling tepat dan sesuai
dengan tahap perkembangan siswa.
Daftar Pustaka
Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”. Sinar
Harapan. 27 Mei 2004.
Chamim, A., Cipto, B., Nashir, H., Istianah, ZA., Bashori, K.,
Setiartiti, L., Azhar, M., Tuhuleley, S. Civic
Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY. 2003.
Dewantara, K.H. Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.
Husamah. “Mengusung
Multikulturalisme. Media Indonesia,
12 Juli 2008.
Joesoef, D. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga
dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta:
Penerbit Kompas. 2001.
Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.
Koentjaraningrat (ed.). Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan. 2002.
Kompas, 31 Agustus 2009.
Mahayana, MS. Akar Melayu:
Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia. Magelang:
Indonesiatera. 2001.
Rahayu, A. Pariwisata:
Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006.
Situmorang, S. “Pentingnya
Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East
& Pacific South West Divisional Meeting. 2006.
Sugiarti, dan Trisakti Handayani. Kajian
Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang:
UMM Press. 1999.
Supardi, N. Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan. Jakarta: Depbudpar
Suparlan, Parsudi. 2005. Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa.
Jakarta:
Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2006.
Suryo, J. 2002. Pembentukan
Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang
Civic Education. Yogyakarta: LP3 UMY.
Suseno, FM. Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama. 1992.
Swasono, MFH. Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi:
makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
Rochaeti, E. Sistem Informasi
Manajemen Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara. 2006.
Ruskhan, AG. “Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi
Penutur Asing (BIPA)”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran
Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gakuen Training
Center, Nagoya,
Jepang, 10-11 November 2007.
[1]
Lihat “Batik Indonesia Resmi Diakui
UNESCO”, Antara, Jumat, 2 Oktober 2009
[2] Periksa “Batik Warisan Budaya Indonesia”,
dalam http://www.jatengpromo.com, edisi
15 Oktober 2009.
[3] Sugiarti dan Trisakti Handayani, Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar UMM Press, Malang, 1999, hal. 17.
[4] Parsudi Suparlan, Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta,
2005, hal. 5.
[5] Ibid, hal. 2-3
[6] Sugiarti dan Trisakti Handayani, hal. 17-18.
[7] Sinar Harapan, 27 Mei 2004.
[9] Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan , Penerbit
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta,
1994.
[10]
Asykuri Ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang
PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003,
hal. 209.
[11]
Joko Suryo, Pembentukan Identitas
Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic
Education, LP3 UMY, Yogyakarta, 2002.
[12]
Ibid.
[13] M.R. Karim. ”Arti Keberadaan Nasionalisme”,
Analisis CSIS XXV/2/1996, hal. 103.
[14] Dari pola kegiatan
ekonomi misalnya, kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu: ) kebudayaan
pemburu dan peramu; 2) kebudayaan peternak; 3) kebudayaan peladang,; 4) kebudayaan
nelayan.
[15] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
[16] Meutia Farida Hatta Swasono, ”Kebudayaan Nasional
Indonesia: Penataan Pola Pikir”, diajukan pada Kongres Kebudayaan V di
Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
[17] Sodjuangan Situmorang, ”Pentingnya
Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”, makalah
dalam The 13th Asia South East &
Pacific South West Divisional Meeting, Jakarta, 2006.
[18] Koentjaraningrat (ed.), Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta: Djambatan, 2002.
[19] Lihat Agustini Rahayu, Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2006.
[20] Abdul Gaffar Ruskhan, Pemanfaatan
Keberagaman Budaya Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur
asing (BIPA), Pusat Bahasa, Jakarta, 2007, hal. 2.
[22] Kunjungi
http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.
[24] Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi
di Indonesia dan Malaysia, Indonesiatera, Magelang, 2001.
[25] Ibid
[26] Hal serupa diulas dalam buku seni lainnya
yang diterbitkan Malaysia, baik menyangkut keris, batik, arsitektur, tari,
maupun kesenian rakyat. Tak sekadar buku, berbagai dokumentasi seni juga
dipublikasikan lewat internet dan video cakram padat (VCD). Lihat “Perlindungan Budaya Indonesia
Lemah” Kompas, 31 Agustus 2009.
[27]
Pada millenium ketiga ini, globalisasi dimaknai sebagai sebuah proses
terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia dalam sebuah sistem global yang
melintasi batas-batas negara (trans-nasional). Interaksi sosial antar bangsa
yang difasilitasi oleh berbagai media informasi yang canggih menggerakkan perubahan
sosial di antara bangsa-bangsa dunia dalam berbagai level (lokal, nasional,
internasional) menjadi sangat dinamis. Antony Gidden, seorang ilmuwan sosial
terkemukan di Inggris, menamai tanda-tanda zaman ini sebagai the runaway world (dunia yang lepas
kendali). Lihat lagi Asykuri ibn Chamim et
al., Civic Hukum: Pendidikan
Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 258.
[28]
Eti Rochaeti, Sistem Informasi Manajemen
Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 63.
[29]
Nunus Supardi, Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita
Kehilangan Haluan, Depbudpar, Jakarta, 2006.
[30] Kompas, 31 Agustus 2009.
[32] Daoed Joesoef, Pembaharuan
Pendidikan dan Pikiran: Masyarakat
Warga dan Pergulatan Demokrasi,
Penerbit Kompas, Jakarta, 2001.
Thanks you so nuch, semoga bermanfaat. Amin
ReplyDeleteThanks you so nuch, semoga bermanfaat. Amin
ReplyDelete