Comments

3-comments

FOLLOW ME

LATEST

3-latest-65px

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Ads block

Banner 728x90px

Section Background

Section Background

Your Name


Your Message*

SEARCH

Maskalah Pendidikan Matematika Profesi Guru

PROFESI GURU: SUARA DARI LAPANGAN

Pendahuluan

Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme, sebagaimana divisualisasikan di bawah ini:

(Sumber: Bulletin PPPG Tertulis, Edisi September 2002: 19)

Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah

..... tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).

Lantas, acuan normatif ini ditindaklanjuti dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1, angka 1:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/kekosongan/kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan "surat tugas" dari kepala sekolah.

Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lemahnya profesi guru di Indonesia. Adapun kelemahan-kelemahan lainnya yang terdapat dalam profesi keguruan di Indonesia, antara lain berupa: (1) Masih rendahnya kualifikasi pendidikan guru dan tenaga kependidikan; (2) Sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang belum terpadu; (3) Organisasi profesi yang rapuh; serta (4) Sistem imbalan dan penghargaan yang kurang memadai.

Payung Hukum Profesi Guru

Akhirnya, setelah 60 tahun Indonesia merdeka, bangsa kita mempunyai sebuah undang-undang (UU) mengenai profesi guru. Hal ini ditandai dengan disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 30 Desember 2005, serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI tahun 2005 nomor 157.

Sungguh sebuah perjuangan yang teramat berat dan melelahkan di mana sejak tahun 1999 Depdiknas bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI merancang naskah akademis dan rancangan undang-undang (semula bernama RUU Guru), kemudian untuk mengakomodasi dosen (sebutan guru di perguruan tinggi) berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Meskipun sebelumnya telah disosialisasikan serta memperoleh masukan dan tanggapan secara luas dari para guru dan dosen, para pengelola pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota, organisasi profesi, kalangan akademisi, perguruan tinggi, dan lain-lain; namun secara praksis UU Guru dan Dosen masih menyisakan banyak persoalan yang memerlukan pemecahan segera, rasional, proporsional, adil, dan bijaksana.

UU Guru dan Dosen (pasal 83) mengamanatkan selambat-lambatnya satu setengah tahun sejak berlakunya undang-undang ini (sekitar Juni/Juli 2007) semua peraturan pemerintah (PP) harus sudah selesai. Padahal, untuk guru saja, terdapat paling tidak 15 pasal yang mesti dibuatkan PP-nya yakni meliputi: kompetensi guru (pasal 10), sertifikasi pendidik (11), anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik (pasal 13), hak guru (pasal 14), tunjangan profesi guru (pasal 16), tunjangan khusus (pasal 18), maslahat tambahan (pasal 19), penugasan WNI sebagai guru dalam kedaan darurat (pasal 21), pola ikatan dinas bagi calon guru (pasal 22), pengangkatan dan penempatan guru pada satuan yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah (pasal 25), penempatan guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural (pasal 26), pemindahan guru (pasal 28), guru yang bertugas di daerah khusus (pasal 29), pemberian penghargaan (pasal 37), dan cuti (pasal 40).

Hingga sekarang (Agustus 2007) belum ada satu pun PP tentang Guru, sesuai dengan amanat UU No. 14/2005 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Barulah sesudah Pengurus Besar PGRI mengeluarkan "Pernyataan PGRI" di Jakarta, pada tanggal 10 Mei 2007, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan (Permendiknas No. 18 tahun 2007).

Kualifikasi Guru: Membaca Realita

UU Guru dan Dosen (pasal 82 ayat 2) mewajibkan guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik untuk memenuhinya paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Mungkinkah?

Mari kita cermati data berikut ini.

Berdasarkan data Depdiknas (2007) di atas, dari 2.245.952 guru di Indonesia lebih dari separuhnya (59%) tidak layak mengajar atau tidak memiliki kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan minimal seorang guru harus berijazah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 1.330.566 orang, terdiri dari 135.344 guru TK, 953.511 guru SD, 5.507 guru SLB, 171.558 guru SMP, 31.645 guru SMA, dan 33.001 guru SMK.

Konsekuensi logisnya, para guru tersebut mesti melanjutkan studi ke jenjang S-1/D-IV supaya memenuhi kualifikasi akademis. Tetapi, siapa yang akan membiayai studi mereka? Biaya sendiri? Apakah cukup biaya bagi setiap guru untuk melanjutkan studi lagi dengan kesejahteraan hidup mereka yang relatif minim? Biaya pemerintah? Adakah political will atau komitmen pemerintah untuk itu, setelah amanat UUD 1945 saja tidak diindahkan?

Sertifikasi Guru: Jauh Panggang Dari Api

Selanjutnya, sebagai tenaga profesional, guru membutuhkan pengakuan berupa bukti formal yang berbentuk sertifikat pendidik. Sertifikasi guru ini dikeluarkan oleh PT yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. PT yang dimaksud adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) baik eks IKIP, STKIP maupun FKIP di universitas-universitas. (RRI-Online, 25/01/2006, 19:04 WIB).

Mungkinkah dalam sepuluh tahun ke depan LPTK yang ada (sesuai dengan amanat pasal 82 ayat (2) UU No.14/2005) mampu menuntaskan program sertifikasi pendidik bagi seluruh guru di Indonesia? Kalau dirata-ratakan berarti setiap tahunnya terdapat sekitar 260.000 guru yang wajib mengikuti uji kompetensi (yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Kapasitas LPTK negeri, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. (Kompas, 27/01/2006). Selama sepuluh tahun, paling hanya sanggup mensertifikasi sepertiganya. Artinya, duapertiga guru di seluruh Indonesia belum tersentuh program ini. Akibatnya, mereka tidak mempunyai sertifikat pendidik. Padahal sertifikat pendidik ini diperlukan guru untuk melaksanakan tugas keprofesionalannya, termasuk untuk memperoleh tunjangan profesi.

Bahkan dalam renstra Ditjen PMPTK Depdiknas (2007) termaktub, bahwa baru pada tahun 2016 seluruh guru akan selesai menjalani proses sertifikasi dan sekaligus memperoleh tunjangan profesinya. Hal ini berarti tidak mengindahkan amanat yuridis formal UU No. 14/2005 (pasal 82 ayat 2) yang hanya memberi waktu selambat-lambatnya sepuluh tahun sejak berlakunya UU itu, atau tanggal 30 Desember 2015 sebagai deadline-nya.

Pada gilirannya, seiring dengan tertunda-tundanya PP tentang Guru dan lambatnya progam sertifikasi guru yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2006 lalu, maka bagi sebagian terbesar guru Indonesia, sertifikasi guru ibarat jauh panggang dari api. Alih-alih memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan diperolehnya tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok, justru hanya penantian panjang yang berbuah kekecewaan yang akan diperoleh para guru.

Isu-isu Aktual

Dengan digulirkannya gerakan reformasi (1998) membawa 'angin segar' bagi iklim demokrasi di Indonesia, termasuk bidang pendidikan. Betapa tidak, selain diamandemennya pasal 31 UUD 1945, UU tentang Sisdiknas (UU No. 2/1989) karena sudah tidak sesuai lagi secara konstitusional pun diganti dan disempurnakan dengan UU No. 20/2003. Hal ini juga dibarengi dengan dikeluarkannya PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, termasuk di dalamnya standar guru sebagai pendidik dan tenaga pendidikan (Bab VI). Adapun profesi guru secara khusus (lex specialis) diatur dalam UU No. 14/2005, meskipun secara operasional menemui kendala dengan masih belum diterbitkannya PP tentang Guru.

Dengan perangkat peraturan perundangan yang tersedia sesungguhnya pemerintah (Depdiknas) maupun stakeholder pendidikan lainnya dapat bergerak berlandaskan legimitasi ini dengan leluasa, mantap, dan tidak perlu gamang lagi, karena telah memeroleh payung hukum yang pasti. Namun, rupa-rupanya legalitas saja tidak cukup kalau tidak diimbangi dengan political will atau komitmen yang kuat guna mengejawantahkan aturan normatif tersebut.

Ambil contoh, meskipun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya Nomor 026/PUU/IV/2007 dalam sidang 1 Mei 2007 sudah menyatakan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 yang mencantumkan anggaran pendidikan sebesar 11,8% bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pemerintah tetap tidak bergeming dari pendiriannya itu dan belum berkehendak untuk mencapai angka 20%.

Menurut Daoed Joesoef

Selama ini pemerintah belum pernah eksplisit mengetengahkan angka 20 persen sebagai realisasi anggaran pendidikan minimal. Tidak ada uang? Nonsens. Kenyataan ada uang untuk kenaikan gaji menteri dan anggota DPR, Akuilah, yang tidak ada bukan uang, tetapi komitmen, kesungguhan mengakui signifikansi kerja pendidikan bagi masa depan bangsa. (Kompas, 25 Juli 2007: 7)

Persoalan 20% anggaran pendidikan dari APBN/APBD ini adalah merupakan pemicu (trigger) utama isu-isu di dunia pendidikan kita. Karena dengan terpenuhinya minimal 20% dari APBN/APBD, maka beberapa persoalan mendasar (basic problem) yang mencuat selama ini, seperti: biaya operasional sekolah; buku paket pelajaran; biaya sekolah peserta didik; gedung sekolah beserta sarana dan prasarananya; tunjangan profesi guru (termasuk tunjangan fungsional, tunjangan khusus, maslahat tambahan, tunjangan daerah, dll.); beasiswa studi guru untuk melanjutkan ke jenjang S-1, S2, S3; sertifikasi guru; dan lain sebagainya akan mendapatkan solusi yang signifikan dan komprehensif.

Sementara itu, para guru hendaknya dapat diposisikan sebagai tenaga profesional (sebagaimana pasal 39 ayat 1 UU No. 20/2003 dan pasal 1 angka 1 UU No. 14/2005). Dalam pengertian ini, maka adanya Ujian Nasional (UN) pada hakikatnya menggeser peran guru untuk melakukan evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran peserta didik. Padahal peran evaluasi tidak dapat dipisahkan (inherent) dari dua peran guru lainnya, yakni: merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran.

Kemudian, berikut ini terdapat sejumlah persoalan lainnya yang muncul seiring dengan adanya reformasi pendidikan terhadap profesi guru:

(1) Guru yang akan diikutsertakan dalam program sertifikasi adalah mereka yang jumlah mengajarnya adalah 24 jam tatap muka per minggu. Kalau aturan ini diberlakukan secara rigid, maka akan semakin banyak lagi guru yang tidak akan terjaring sertifikasi. Pada gilirannya, peserta didik kita akan dididik oleh guru-guru yang tidak layak mengajar.

(2) Banyak guru, khususnya bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan Keputusan MenPAN No. 84/1993, harus diberhentikan dari jabatannya karena sudah lebih dari enam tahun sejak diangkat dalam jabatan terakhir tidak mampu mengumpulkan angka kredit minimal yang disyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatannya tersebut. Hal tersebut menimpa pada guru-guru dengan jabatan guru pembina (golongan/ruang, IV/a). Ini dikarenakan mereka terjegal karya tulis ilmiah (KTI).

(3) Dengan adanya perubahan kurikulum menjadi KBK/KTSP yang menuntut otonomi sekolah maupun otonomi pedagogik guru tidak diimbangi dengan pemahaman dan keterampilan untuk menyusun kurikulum itu sendiri. Akibatnya, karena sudah terbiasa dengan budaya "juklak-juknis", maka KTSP Cuma berupa kumpulan "copy-paste".

(4) Banyak guru, terutama guru honorer/tidak tetap baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang mendapatkan take home pay di bawah UMR (untuk provinsi Jawa Barat, UMR tahun 2006 adalah sebesar Rp. 447.654,-). Ini terjadi karena manajemen sekolah masih menganut paradigma lama penghonoran guru, yakni guru yang "mengajar sebulan dibayar seminggu" (bandingkan dengan dosen yang dibayar per tatap muka).

(5) Perlindungan hukum terhadap profesi guru masih sangat lemah (baca: kasus 27 orang guru di Medan yang dipecat pihak sekolah karena melaporkan kecurangan pelaksanaan UN). Di sini, termasuk juga kepastian kerja guru honorer/tidak tetap yang labil/rawan "pemecatan" pihak manajemen sekolah.

(6) Adanya pameo "pengetahuan guru dan siswa hanya berbeda satu malam", disebabkan oleh karena guru tidak mengimplementasikan "life long education" atau tidak terus menerus mengupdate ilmu-pengetahuannya, baik secara formal (kuliah lagi atau mengikuti diklat, penataran, seminar/lokakarya yang berkaitan dengan bidang tugasnya) maupun dengan mengakses sumber pembelajaran kontemporer, seperti: buku-buku, majalah, jurnal, surat kabar, atau internet. Hal ini karena guru masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan sembako untuk menghidupi keluarganya tinimbang membiayai hal-hal lainnya.

(7) Peranan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru masih kurang diberdayakan oleh para stakeholder pendidikan di daerah.

No comments:

Post a Comment

Archive

Sections

Blog Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic
TUTORIAL BLOG

Buka Semua | Tutup Semua

Header Background

Header Background
Header Background Image. Ideal width 1600px with.

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Courses

6-latest-350px-course

About Me

Followers

Popular

Silahkan anda cari artikel disini

Pages

Hello! We’re Fenix Creative Photo Studio

Silahkan anda cari makalah disini
3-tag:Courses-65px

Popular Posts

Maskalah Pendidikan Matematika Profesi Guru

PROFESI GURU: SUARA DARI LAPANGAN

Pendahuluan

Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme, sebagaimana divisualisasikan di bawah ini:

(Sumber: Bulletin PPPG Tertulis, Edisi September 2002: 19)

Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah

..... tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).

Lantas, acuan normatif ini ditindaklanjuti dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1, angka 1:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/kekosongan/kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan "surat tugas" dari kepala sekolah.

Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lemahnya profesi guru di Indonesia. Adapun kelemahan-kelemahan lainnya yang terdapat dalam profesi keguruan di Indonesia, antara lain berupa: (1) Masih rendahnya kualifikasi pendidikan guru dan tenaga kependidikan; (2) Sistem pendidikan dan tenaga kependidikan yang belum terpadu; (3) Organisasi profesi yang rapuh; serta (4) Sistem imbalan dan penghargaan yang kurang memadai.

Payung Hukum Profesi Guru

Akhirnya, setelah 60 tahun Indonesia merdeka, bangsa kita mempunyai sebuah undang-undang (UU) mengenai profesi guru. Hal ini ditandai dengan disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 30 Desember 2005, serta diundangkan dalam Lembaga Negara RI tahun 2005 nomor 157.

Sungguh sebuah perjuangan yang teramat berat dan melelahkan di mana sejak tahun 1999 Depdiknas bekerja sama dengan Pengurus Besar PGRI merancang naskah akademis dan rancangan undang-undang (semula bernama RUU Guru), kemudian untuk mengakomodasi dosen (sebutan guru di perguruan tinggi) berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Meskipun sebelumnya telah disosialisasikan serta memperoleh masukan dan tanggapan secara luas dari para guru dan dosen, para pengelola pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota, organisasi profesi, kalangan akademisi, perguruan tinggi, dan lain-lain; namun secara praksis UU Guru dan Dosen masih menyisakan banyak persoalan yang memerlukan pemecahan segera, rasional, proporsional, adil, dan bijaksana.

UU Guru dan Dosen (pasal 83) mengamanatkan selambat-lambatnya satu setengah tahun sejak berlakunya undang-undang ini (sekitar Juni/Juli 2007) semua peraturan pemerintah (PP) harus sudah selesai. Padahal, untuk guru saja, terdapat paling tidak 15 pasal yang mesti dibuatkan PP-nya yakni meliputi: kompetensi guru (pasal 10), sertifikasi pendidik (11), anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik (pasal 13), hak guru (pasal 14), tunjangan profesi guru (pasal 16), tunjangan khusus (pasal 18), maslahat tambahan (pasal 19), penugasan WNI sebagai guru dalam kedaan darurat (pasal 21), pola ikatan dinas bagi calon guru (pasal 22), pengangkatan dan penempatan guru pada satuan yang diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah (pasal 25), penempatan guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural (pasal 26), pemindahan guru (pasal 28), guru yang bertugas di daerah khusus (pasal 29), pemberian penghargaan (pasal 37), dan cuti (pasal 40).

Hingga sekarang (Agustus 2007) belum ada satu pun PP tentang Guru, sesuai dengan amanat UU No. 14/2005 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Barulah sesudah Pengurus Besar PGRI mengeluarkan "Pernyataan PGRI" di Jakarta, pada tanggal 10 Mei 2007, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan (Permendiknas No. 18 tahun 2007).

Kualifikasi Guru: Membaca Realita

UU Guru dan Dosen (pasal 82 ayat 2) mewajibkan guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik untuk memenuhinya paling lama 10 tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Mungkinkah?

Mari kita cermati data berikut ini.

Berdasarkan data Depdiknas (2007) di atas, dari 2.245.952 guru di Indonesia lebih dari separuhnya (59%) tidak layak mengajar atau tidak memiliki kualifikasi akademik, yaitu tingkat pendidikan minimal seorang guru harus berijazah sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 1.330.566 orang, terdiri dari 135.344 guru TK, 953.511 guru SD, 5.507 guru SLB, 171.558 guru SMP, 31.645 guru SMA, dan 33.001 guru SMK.

Konsekuensi logisnya, para guru tersebut mesti melanjutkan studi ke jenjang S-1/D-IV supaya memenuhi kualifikasi akademis. Tetapi, siapa yang akan membiayai studi mereka? Biaya sendiri? Apakah cukup biaya bagi setiap guru untuk melanjutkan studi lagi dengan kesejahteraan hidup mereka yang relatif minim? Biaya pemerintah? Adakah political will atau komitmen pemerintah untuk itu, setelah amanat UUD 1945 saja tidak diindahkan?

Sertifikasi Guru: Jauh Panggang Dari Api

Selanjutnya, sebagai tenaga profesional, guru membutuhkan pengakuan berupa bukti formal yang berbentuk sertifikat pendidik. Sertifikasi guru ini dikeluarkan oleh PT yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. PT yang dimaksud adalah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) baik eks IKIP, STKIP maupun FKIP di universitas-universitas. (RRI-Online, 25/01/2006, 19:04 WIB).

Mungkinkah dalam sepuluh tahun ke depan LPTK yang ada (sesuai dengan amanat pasal 82 ayat (2) UU No.14/2005) mampu menuntaskan program sertifikasi pendidik bagi seluruh guru di Indonesia? Kalau dirata-ratakan berarti setiap tahunnya terdapat sekitar 260.000 guru yang wajib mengikuti uji kompetensi (yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Kapasitas LPTK negeri, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. (Kompas, 27/01/2006). Selama sepuluh tahun, paling hanya sanggup mensertifikasi sepertiganya. Artinya, duapertiga guru di seluruh Indonesia belum tersentuh program ini. Akibatnya, mereka tidak mempunyai sertifikat pendidik. Padahal sertifikat pendidik ini diperlukan guru untuk melaksanakan tugas keprofesionalannya, termasuk untuk memperoleh tunjangan profesi.

Bahkan dalam renstra Ditjen PMPTK Depdiknas (2007) termaktub, bahwa baru pada tahun 2016 seluruh guru akan selesai menjalani proses sertifikasi dan sekaligus memperoleh tunjangan profesinya. Hal ini berarti tidak mengindahkan amanat yuridis formal UU No. 14/2005 (pasal 82 ayat 2) yang hanya memberi waktu selambat-lambatnya sepuluh tahun sejak berlakunya UU itu, atau tanggal 30 Desember 2015 sebagai deadline-nya.

Pada gilirannya, seiring dengan tertunda-tundanya PP tentang Guru dan lambatnya progam sertifikasi guru yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tahun 2006 lalu, maka bagi sebagian terbesar guru Indonesia, sertifikasi guru ibarat jauh panggang dari api. Alih-alih memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan diperolehnya tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokok, justru hanya penantian panjang yang berbuah kekecewaan yang akan diperoleh para guru.

Isu-isu Aktual

Dengan digulirkannya gerakan reformasi (1998) membawa 'angin segar' bagi iklim demokrasi di Indonesia, termasuk bidang pendidikan. Betapa tidak, selain diamandemennya pasal 31 UUD 1945, UU tentang Sisdiknas (UU No. 2/1989) karena sudah tidak sesuai lagi secara konstitusional pun diganti dan disempurnakan dengan UU No. 20/2003. Hal ini juga dibarengi dengan dikeluarkannya PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, termasuk di dalamnya standar guru sebagai pendidik dan tenaga pendidikan (Bab VI). Adapun profesi guru secara khusus (lex specialis) diatur dalam UU No. 14/2005, meskipun secara operasional menemui kendala dengan masih belum diterbitkannya PP tentang Guru.

Dengan perangkat peraturan perundangan yang tersedia sesungguhnya pemerintah (Depdiknas) maupun stakeholder pendidikan lainnya dapat bergerak berlandaskan legimitasi ini dengan leluasa, mantap, dan tidak perlu gamang lagi, karena telah memeroleh payung hukum yang pasti. Namun, rupa-rupanya legalitas saja tidak cukup kalau tidak diimbangi dengan political will atau komitmen yang kuat guna mengejawantahkan aturan normatif tersebut.

Ambil contoh, meskipun Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya Nomor 026/PUU/IV/2007 dalam sidang 1 Mei 2007 sudah menyatakan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 yang mencantumkan anggaran pendidikan sebesar 11,8% bertentangan dengan pasal 31 ayat (4) UUD 1945, pemerintah tetap tidak bergeming dari pendiriannya itu dan belum berkehendak untuk mencapai angka 20%.

Menurut Daoed Joesoef

Selama ini pemerintah belum pernah eksplisit mengetengahkan angka 20 persen sebagai realisasi anggaran pendidikan minimal. Tidak ada uang? Nonsens. Kenyataan ada uang untuk kenaikan gaji menteri dan anggota DPR, Akuilah, yang tidak ada bukan uang, tetapi komitmen, kesungguhan mengakui signifikansi kerja pendidikan bagi masa depan bangsa. (Kompas, 25 Juli 2007: 7)

Persoalan 20% anggaran pendidikan dari APBN/APBD ini adalah merupakan pemicu (trigger) utama isu-isu di dunia pendidikan kita. Karena dengan terpenuhinya minimal 20% dari APBN/APBD, maka beberapa persoalan mendasar (basic problem) yang mencuat selama ini, seperti: biaya operasional sekolah; buku paket pelajaran; biaya sekolah peserta didik; gedung sekolah beserta sarana dan prasarananya; tunjangan profesi guru (termasuk tunjangan fungsional, tunjangan khusus, maslahat tambahan, tunjangan daerah, dll.); beasiswa studi guru untuk melanjutkan ke jenjang S-1, S2, S3; sertifikasi guru; dan lain sebagainya akan mendapatkan solusi yang signifikan dan komprehensif.

Sementara itu, para guru hendaknya dapat diposisikan sebagai tenaga profesional (sebagaimana pasal 39 ayat 1 UU No. 20/2003 dan pasal 1 angka 1 UU No. 14/2005). Dalam pengertian ini, maka adanya Ujian Nasional (UN) pada hakikatnya menggeser peran guru untuk melakukan evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran peserta didik. Padahal peran evaluasi tidak dapat dipisahkan (inherent) dari dua peran guru lainnya, yakni: merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran.

Kemudian, berikut ini terdapat sejumlah persoalan lainnya yang muncul seiring dengan adanya reformasi pendidikan terhadap profesi guru:

(1) Guru yang akan diikutsertakan dalam program sertifikasi adalah mereka yang jumlah mengajarnya adalah 24 jam tatap muka per minggu. Kalau aturan ini diberlakukan secara rigid, maka akan semakin banyak lagi guru yang tidak akan terjaring sertifikasi. Pada gilirannya, peserta didik kita akan dididik oleh guru-guru yang tidak layak mengajar.

(2) Banyak guru, khususnya bagi mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan Keputusan MenPAN No. 84/1993, harus diberhentikan dari jabatannya karena sudah lebih dari enam tahun sejak diangkat dalam jabatan terakhir tidak mampu mengumpulkan angka kredit minimal yang disyaratkan untuk kenaikan pangkat/jabatannya tersebut. Hal tersebut menimpa pada guru-guru dengan jabatan guru pembina (golongan/ruang, IV/a). Ini dikarenakan mereka terjegal karya tulis ilmiah (KTI).

(3) Dengan adanya perubahan kurikulum menjadi KBK/KTSP yang menuntut otonomi sekolah maupun otonomi pedagogik guru tidak diimbangi dengan pemahaman dan keterampilan untuk menyusun kurikulum itu sendiri. Akibatnya, karena sudah terbiasa dengan budaya "juklak-juknis", maka KTSP Cuma berupa kumpulan "copy-paste".

(4) Banyak guru, terutama guru honorer/tidak tetap baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang mendapatkan take home pay di bawah UMR (untuk provinsi Jawa Barat, UMR tahun 2006 adalah sebesar Rp. 447.654,-). Ini terjadi karena manajemen sekolah masih menganut paradigma lama penghonoran guru, yakni guru yang "mengajar sebulan dibayar seminggu" (bandingkan dengan dosen yang dibayar per tatap muka).

(5) Perlindungan hukum terhadap profesi guru masih sangat lemah (baca: kasus 27 orang guru di Medan yang dipecat pihak sekolah karena melaporkan kecurangan pelaksanaan UN). Di sini, termasuk juga kepastian kerja guru honorer/tidak tetap yang labil/rawan "pemecatan" pihak manajemen sekolah.

(6) Adanya pameo "pengetahuan guru dan siswa hanya berbeda satu malam", disebabkan oleh karena guru tidak mengimplementasikan "life long education" atau tidak terus menerus mengupdate ilmu-pengetahuannya, baik secara formal (kuliah lagi atau mengikuti diklat, penataran, seminar/lokakarya yang berkaitan dengan bidang tugasnya) maupun dengan mengakses sumber pembelajaran kontemporer, seperti: buku-buku, majalah, jurnal, surat kabar, atau internet. Hal ini karena guru masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan sembako untuk menghidupi keluarganya tinimbang membiayai hal-hal lainnya.

(7) Peranan MGMP sebagai wadah profesionalisme guru masih kurang diberdayakan oleh para stakeholder pendidikan di daerah.

Share

Post a Comment