Comments

3-comments

FOLLOW ME

LATEST

3-latest-65px

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Ads block

Banner 728x90px

Section Background

Section Background

Your Name


Your Message*

SEARCH

Makalah Pendidikan Matematika Khazanah Budaya Bangsa


MENGUSUNG KEMBALI KHAZANAH
IDENTITAS BUDAYA BANGSA

Husamah


Indonesians are actually representation of rich nation because they have many cultures with various diversities. On the other hand, the fact is that there are so many cultures have lost, entirely disappeared, or stolen by others. It is because we are remiss to behave properly on the cultures and carry out them. Therefore, it needs institutional approach in the form of government’s concrete steps and reinforcement on education’s role.




Prolog
Batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak  Benda Warisan Manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee) tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi. UNESCO mengakui batik Indonesia bersama dengan 111 nominasi mata budaya dari 35 negara, dan yang diakui dan dimasukkan dalam Daftar Representatif sebanyak 76 mata budaya. Sebelumnya pada tahun 2003 dan 2005 UNESCO telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (masterpieces of the oral and intangible cultural heritage of humanity) yang pada tahun 2008 dimasukkan ke dalam Daftar Representatif. [1]
Disadari atau tidak  batik Indonesia sarat dengan teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal. Kekayaan ragam batik yang datang dari beberapa wilayah dan provinsi, menjadi bukti bahwa Indonesia layak menjadi sumber budaya di mana batik tumbuh dan berkembang. Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi. Batik terkait dengan identitas budaya rakyat Indonesia dan melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreativitas dan spiritual rakyat Indonesia. Batik Indonesia memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Bagi masyarakat Jawa misalnya, batik bukan hanya sebuah kain bercorak, tetapi juga penggambaran filosofi kehidupan dan warisan budaya leluhur yang harus dijaga.[2]
Masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity atau Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia (masterpieces of the oral and intangible cultural heritage of humanity) memang merupakan bukti pengakuan internasional terhadap salah satu mata budaya Indonesia. Namun, jika kita punya itikad baik, sejatinya inilah momentum untuk introspeksi diri terkait kelalaian kita terhadap warisan atau khazanah budaya bangsa. Mengapa?
Tulisan singkat ini, dengan segala kekurangan dan keterbatasan ilmu penulis dan sebagai seorang awam, akan mencoba mengangkat “cermin” kealfaan itu sekaligus mencari bentuk  sintesis pemecahan masalah identitas kebudayaan bangsa. Oleh karena itu, uraian dalam artikel ini dibatasi pada konsep kebudayaan dan identitas budaya nasional, ancaman terhadap kekayaan budaya bangsa, dan solusi yang ditawarkan yaitu kaitannya dengan peran pemerintah dan pendidikan.

Kebudayaan dan Identitas Kebudayaan Nasional
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang berarti daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.[3]
Kebudayaan dapat didefinisikan juga sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.[4]
Dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat  terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) bahasa dan komunikasi; (2) ilmu pengetahuan; (3) teknologi; (4) ekonomi; (5) organisasi sosial; (6) agama; dan (7) kesenian.[5]
            Secara sederhana, pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya Dasar (IBD) mengacu pada pengertian sebagai berikut:[6]1) Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjukkan hasil fisik karya manusia, meskipun hasil fisik karya manusia sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusia. Kebudayaan sebagai suatu sistem memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan baik; 2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering disebut kultur (culture, bahasa Inggris) yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang sesuatu permasalahan yang dihadapi manusia.
Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.[7]
            Menurut  Djojodigoena dalam bukunya Asas-asas Sosiologi (1985) mengatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.[8] Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan bersumber pada kenyataan yang ada. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi sangkan paran, yakni dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia sesudah mati (paran). Lalu muncullah berbagai sistem kepercayaan dan agama. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.
Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya, yaitu: 1) hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan; 2) angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan; 3) kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah.[9]
Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas nasional” dibentuk oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Identitas dapat diartikan sebagai ciri, tanda atau jatidiri,  sedangkan “nasional” dalam konteks ini berarti kebangsaan. Dengan demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai jatidiri nasional atau kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa tentu berbeda dengan jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman sejarah yang sama itu dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang  kemudian pada ujungnya melahirkan identitas nasional.[10]
Lahirnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subjektif, yaitu faktor-faktor historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.[11] Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells mengemukaan teori tentang munculnya identitas nasional sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan sentraliasi monarkis. Faktor ketiga mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indoensia, yang telah berkembang dari masa sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.[12] Munculnya Sumpah Pemuda Oktober 1928, setidaknya sangat mendukung upaya pencarian nasionalisme Indonesia sekaligus penemuan identitas nasional bangsa Indonesia.[13]
Gagasan kebudayaan nasional sebagai identitas nasional sudah dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Gagasan itu kemudian diikuti oleh seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kebudayaan sebagai identitas nasinal menunjukkan betapa kebudayaan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa karena jelaslah bahwa kebudayaan juga merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri.
Kebudayaan nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan lokal atau kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma berbangsa dan bernegara. Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di negara tersebut. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain. Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama lain.[14]
Kebudayaan nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada kebudayaan nasional. Itu tidak berarti kebudayaan nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.[15]
Menyikapi perkembangan zaman, selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai  pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.  Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana  bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan  sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan,  “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?” [16]

Ancaman Terhadap Kekayaan Budaya
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.000 lebih pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama.[17] Di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar dan sebagainya; Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dan sebagainya.; Maluku: Ambon, Ternate, dan sebagainya; Papua: Dani, Asmat, dan sebagainya)[18]
Indonesia tersusun dari jumlah 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat.[19] Jika ditinjau dari segi bahasa, ada sekitar 726 bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara. Mulai dari penutur yang hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa Jawa dan Sunda. Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya, menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula sub-sub etnis dengan sub budaya yang berbeda pula, misalnya, Solo dan Yogyakarta, sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa orang Solo dan  Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun. Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya lembut. [20]
Indonesia memiliki ratusan kelompok etnis. Tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Aceh.
Secara graris besar khazanah kekayaan atau artefak budaya tradisional Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam, tarian, ritual, ornamen, motif kain, alat musik, cerita rakyat, musik dan lagu, data makanan, seni pertunjukan, produk arsitektur, permainan tradisional, senjata dan alat perang, naskah kuno dan prasasti dan tata cara pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.[21] Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari berbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia ‘dicuri’ oleh negara lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya.
Seni pantungurindam, dan sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain. Di bidang busana, warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, CirebonPandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera Barat (Minangkabau), kainulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantanbaju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.[22] 
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Beberapa contoh yang diuraikan di atas sengaja untuk membuktikan opini di atas dan sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah benar-benar bangsa yang kaya raya, memiliki segalanya. Indonesia adalah satu-satunya negeri dengan kekayaan alam terlengkap di dunia. Indonesia dapat kita ibaratkan  sebagai seorang primadona yang menjadi rebutan para pengagumnya. Mereka melakukan apapun juga untuk merebutnya, meskipun dengan cara-cara yang memalukan dan vulgar seperti pencurian kekayaan budaya, mematenkan, atau menggunakan secara komersial.
Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun pemerintah negara lain[23]:
Tabel 1. Daftar Artefak Budaya Indonesia
No
Nama Artefak Budaya
Daerah Asal
Pelaku
1
Batik
Jawa
Produsen sepatu Adidas
2
Naskah Kuno
Riau
Pemerintah Malaysia
3
Naskah Kuno
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
4
Naskah Kuno
Sulawesi Selatan
Pemerintah Malaysia
5
Naskah Kuno
Sulawesi Tenggara
Pemerintah Malaysia
6
Rendang
Sumatera Barat
Oknum WN Malaysia
7
Sambal Bajak
Jawa Tengah
Oknum WN Belanda
8
Sambal Petai
Riau
Oknum WN Belanda
9
Sambal Nanas
Riau
Oknum WN Belanda
10
Tempe
Jawa
Beberapa Perusahaan Asing
11
Lagu Rasa Sayang Sayange
Maluku
Pemerintah Malaysia
12
Tari Reog Ponorogo
Jawa Timur
Pemerintah Malaysia
13
Lagu Soleram
Riau
Pemerintah Malaysia
14
Lagu Injit-injit Semut
Jambi
Pemerintah Malaysia
15
Alat Musik Gamelan
Jawa
Pemerintah Malaysia
16
Tari Kuda Lumping
Jawa Timur
Pemerintah Malaysia
17
Tari Piring
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
18
Lagu Kakak Tua
Maluku
Pemerintah Malaysia
19
Lagu Anak Kambing Saya
dari Nusa Tenggara
Pemerintah Malaysia
20
Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
Oknum WN Perancis
21
Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
Oknum WN Inggris
22
Motif Batik Parang
Yogyakarta
Pemerintah Malaysia
23
Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti
Bali
Oknum WN Amerika
24
Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat
Asli Indonesia
25
Badik Tumbuk Lada
-
Pemerintah Malaysia
26
Kopi Gayo
Aceh
perusahaan multinasional (MNC) Belanda
27
Kopi T oraja
Sulawesi Selatan
perusahaan Jepang
28
Musik Indang Sungai Garinggiang
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
29
Kain Ulos
-
Pemerintah Malaysia
30
Alat Musik Angklung
Jawa Barat
Pemerintah Malaysia
31
Lagu Jali-Jali
-
Pemerintah Malaysia
32
Tari Pendet
Bali
Pemerintah Malaysia

Pertanyaan kita sekarang mengapa pihak asing atau pun negara lain dengan begitu beraninya mengklaim budaya nasional Indonesia? Menurut Maman S Mahayana, konflik klaim kebudayaan sesungguhnya lahir dari kondisi geografis yang berdampingan, sebagai entitas kembar identik antara dua negara. Akar budaya dan karakter manusia yang hampir serupa, ditambah dinamisasi serta mobilitas manusianya dari waktu ke waktu, akhirnya melahirkan banyak produk budaya yang mirip (grey culture). Namun, sama halnya dengan manusia -- yang meski sekembar apa pun --  pastilah ada ciri tertentu masing-masing. Begitu pula bangsa. Tiap-tiap bangsa memiliki karakter khas yang membedakan satu dari yang lain.[24] Karena itu, selama kedua pihak konsisten pada kekhasan masing-masing, niscaya potensi konflik pun akan jarang muncul.
Jadi, mengapa konflik klaim budaya terjadi antara Indonesia-Malaysia?[25] Pertama, adanya kemunculan pihak yang secara agresif dan tiba-tiba mengklaim sebuah identitas tertentu. Padahal, setelah sekian lama, identitas tersebut menjadi ciri khas ”kembarannya” dan mereka hidup dalam situasi harmonis. Jauh sebelum terjadinya insiden Tari Pendet, tari itu telah dikenal publik Indonesia dan mancanegara sebagai bagian dari tradisi Bali. Karena itu, sangat mengagetkan publik Indonesia ketika tari pendet tiba-tiba dinyatakan sebagai bagian dari identitas Malaysia.
Kedua, klaim dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Dalam konteks politik, tindakan apa pun yang dilakukan pemerintah secara publik merepresentasikan pendapat resmi negara tersebut, tidak terkecuali iklan kunjungan wisata Malaysia kali ini. Akibatnya, respons yang muncul dari negara pemilik identitas sangat frontal.
Ketiga, adanya kemampuan yang tidak imbang di antara kedua entitas dalam mendefinisikan dan melestarikan kebudayaan masing-masing. Tidak dipungkiri jika kini Malaysia berkembang menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di Asia Tenggara, baik di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun ekonomi. Celakanya, keunggulan tersebut berbanding lurus dengan upaya Malaysia mengklaim beberapa identitas kebudayaan penting negara tetangganya. Kasus klaim atas Batik, Reog, dan lagu Rasa Sayange merupakan salah satu bukti atas asumsi tersebut. Menariknya, upaya Malaysia tersebut biasanya telah disertai dengan upaya legalitas hukum untuk mematenkan klaim yang dimaksud (de jure). Sementara itu, Indonesia biasanya hanya mengandalkan pada kondisi kepemilikan de facto tanpa banyak mempertimbangkan aspek hukum.
Semakin banyaknya khasanah budaya bangsa yang hilang ternyata lebih banyak berujung pada faktor terakhir (ketiga) yaitu kelalaian kita dalam menyikapi sekaligus mengelola kekayaan itu. Kita memiliki kemampuan yang tidak imbang akibat lemahnya semangat dan penghargaan terhadap budaya sementara bangsa lain lebih memiliki kesadaran yang juga diwujudkan dalam tindakan nyata mereka. Akhirnya, kita terluka dan malu, karena kita sadar sebagai pemilik kebudayaan itu, kita tidak memperhatikannya. Selama ini kebudayaan selalu dipinggirkan pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli. Ketidakpedulian warga negara Indonesia terhadap kebudayaannya itupun yang membuat seluruh bangsa ini tergopoh-gopoh melakukan pendataan kesenian asli Indonesia, ketika ada klaim dari negara lain. Menyaksikan klaim negara lain, kita marah, tetapi setelah itu kita tidak pernah menanganinya secara baik. Akhirnya, secara perlahan-lahan kebudayaan bangsa ini justru punah. Jika mau jujur, wajah kita hampir sama seperti para polisi dalam film-film India, yakni selalu terlambat datang ketika semua masalah sudah tuntas. Kita selalu tidur jika berbicara tentang budaya dan kebudayaan, juga aset dan pusaka bangsa. Baru setelah dipungut dan diambil orang atau negara lain, kita baru sadar, terjaga dan terkaget. Tidak hanya itu, kita pun panik, berteriak-teriak, dan ribut-ribut.
Kondisi ini tentunya berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan Malaysia. Mereka sangat sadar akan eksistensi kebudayaan. Kebudayaan adalah senjata terbaik untuk diplomasi internasional dengan potensi bisnis yang juga sangat bagus. Malaysia tahu mereka kekurangan budaya, mereka pintar melihat kebudayaan negara tetangganya, dan mereka menghargai budaya untuk mencari keuntungan, sedangkan pemerintah kita tidak peduli. Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai buku. Dalam buku Spirit of Wood The Art Malay Woodcarfing, yang merupakan seni budaya yang berkembang hanya di wilayah Kelantan, Terengganu, dan Pattani, misalnya, diulas berbagai seni ukir kayu, pembuatan keris, gunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga lainnya.[26]
Ancaman besar lain yang memiliki efek terhadap identitas budaya bangsa adalah perubahan dalam masyarakat, terjadi karena adanya gelombang globalisasi yang melahirkan budaya global.[27] Proses globalisasi budaya yang berbarengan dengan globalisasi ekonomi serta pasar akan merupakan ancaman terhadap budaya suatu bangsa. Kalau sebelumnya budaya suatu bangsa yang tumbuh terisolir dan berkembang secara mantap dan statis, maka dalam dunia terbuka keadaan demikian kian terusik. Apabila budaya bangsa terusik maka terusiklah identitas bangsa itu. Berbagai perubahan fundamental terus dan akan berlangsung di semua aspek kehihupan manusia dalam era globalisasi. Kemajuan teknologi mengakibatkan interaksi budaya berjalan semakin intensif dan terbuka sehingga berdampak pada terjadinya perubahan budaya yang sangat fundamental. Globalisasi budaya menyebakan perubahan pola gaya hidup, bahkan nilai– nilai dan tatanan kehidupan manusia. Dalam era globalisasi budaya ada tiga aspek kehidupan yang berubah dan cenderung terus berubah, yaitu budaya 3–F, budaya makan (food), budaya berbusana (fashion) dan budaya memenuhi kesenangan hidup (fun).[28] 
Derasnya arus informasi akhirnya menyebabkan lunturnya kecintaan masyarakat terutama generasi muda bangsa terhadap peninggalan budaya tradisional (budaya asli) warisan nenek moyang. Anak-anak, generasi muda dan kaum dewasa, kini tidak lagi mempunyai rasa ketertarikan dan minat terhadap budaya asli Indonesia. Bahkan parahnya ada sebagian golongan yang apatis dan apriori terhadap budayanya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan makin sukanya masyarakat mengadopsi dan bangga terhadap budaya asing. Mereka lebih gengsi berperilaku seperti orang barat dengan keseniannya juga, serta meletakkan posisi budaya bangsa sebagai budaya yang marginal atau kelas rendahan.

Mengusung Kembali Identitas Budaya
Setelah diamandemen, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya." 
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya"  merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai  kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.[29] 
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa, khususnya pemerintah secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk menyelamatkan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya.
Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,[30] misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan nasional. Itu dengan melibatkan  semua pihak se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi kebudayaan nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya menyaring budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.
Salah satu dimensi lain yang tidak bisa diabaikan dalam upaya mengusung kembali khasanah identitas budaya bangsa adalah dunia pendidikan. Karena ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya yang berdampingan dengan globalisasi ekonomi, maka strategi yang harus diutamakan adalah strategi budaya yang berbasis penguatan pendidikan. Sumberdaya manusia yang peka terhadap identitas budaya, serta berdaya saing tiggi juga berwawasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dibangun melalui pendidikan.
Pendidikan, baik formal maupun non-formal adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati.[31] Dalam pandangan Daoed Joesoef[32] kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah diperbarui ini, masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekadar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya. Dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas kebudayaan, pendidikan merupakan wahana sentral dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda.
Wacana tersebut dalam tahap implementasinya mengharuskan pendidikan yang diterapkan bersumber dari bentuk kurikulum yang sarat muatan atau nilai penguatan identitas budaya nasional. Ini berarti kurikulum yang bermuatan budaya nasional akan sama antara satu daerah yang satu dengan daerah yang lain, tetapi akan berbeda ketika menyangkut identitas budaya lokal masing-masing. Selain membagi dan berbagi pengetahuan mengenai adat istiadat lokal dan nasional, nilai-nilai budaya bersama juga harus disampaikan dalam proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional. Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal maupun nasional dan pemahaman mengenai nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia yang bangga terhadap tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya yang kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga kedaulatan, kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya, dalam hal ini adalah identitas kebudayaan nasional.

Epilog
 Tulisan ini pun secara sengaja tidak akan berakhir pada sebuah kesimpulan sebagaimana layaknya. Namun, ada baiknya kita sedikit menyadari bahwa kebijakan konkrit sebagaimana yang telah dijelaskan di atas medesak untuk dilakukan agar bangsa ini tidak terjerembab ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya.  Strategi kebudayaan yang monolitik mesti dipudarkan oleh upaya pemerintah memfasilitasi serta mengadvokasi setiap hak sosial-budaya yang dimiliki kebudayaan lokal. Jika ingin menyelamatkan 'jati diri bangsa', maka strategi kebudayaan yang usang perlu dibuang, karenanya, politik kebudayaan perlu direartikulasi dan revitalisasi dalam nuansa baru yang lebih memberdayakan, bukan menentukan, tidak jatuh pada logika hasrat materialistik-kapitalistik semata.
Beberapa saran yang dapat diajukan terkait dengan pendidikan adalah;
1.      Merancang sebuah kurikulum yang sarat muatan budaya lokal dan nasional yang diakui dan dijadikan identitas bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal ini tentu tidak akan menambah beban siswa daripada harus menjadi mata pelajaran sendiri. Tentunya wacana ini akan valid jika didukung penelitian yang tepat dan sesuai.
2.      Mmenerapkan kurikulum yang tersebut mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah.
3.      Menentukan metode dan media pembelajaran yang paling tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

Daftar Pustaka
Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”.  Sinar Harapan.  27 Mei 2004.

Chamim, A., Cipto, B., Nashir, H., Istianah, ZA., Bashori, K., Setiartiti, L., Azhar, M., Tuhuleley, S.  Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY. 2003.

Dewantara, K.H.   Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.

Husamah. “Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia, 12 Juli 2008.

Joesoef, D. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas. 2001.

Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.

Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.  2002.

Kompas,  31 Agustus 2009.

Mahayana, MS. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia. Magelang: Indonesiatera. 2001.

Rahayu, A. Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006.

Situmorang, S.  “Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting.  2006.

Sugiarti, dan Trisakti Handayani.  Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press. 1999.

Supardi, N. Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan. Jakarta: Depbudpar Suparlan,  Parsudi. 2005.  Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2006.

Suryo, J. 2002. Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education. Yogyakarta: LP3 UMY.

Suseno, FM.  Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Swasono, MFH.  Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi: makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.

Rochaeti, E. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.

Ruskhan, AG.   Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA)”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10-11 November 2007.


[1] Lihat “Batik Indonesia Resmi Diakui UNESCO”, Antara,  Jumat, 2 Oktober 2009
[2] Periksa “Batik Warisan Budaya Indonesia”, dalam  http://www.jatengpromo.com, edisi 15 Oktober 2009.
[3] Sugiarti dan Trisakti Handayani, Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar  UMM Press, Malang, 1999, hal. 17.
[4] Parsudi Suparlan,  Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa,  Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2005, hal. 5.
[5] Ibid, hal. 2-3
[6] Sugiarti dan Trisakti Handayani, hal. 17-18.
[7] Sinar Harapan,  27 Mei 2004.
[8] Sugiarti dan Trisakti Handayani Ibid. hal. 8.
[9] Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan ,  Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994.
[10] Asykuri Ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 209.
[11] Joko Suryo, Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education, LP3 UMY, Yogyakarta, 2002.
[12] Ibid.
[13] M.R. Karim. ”Arti Keberadaan Nasionalisme”, Analisis CSIS XXV/2/1996, hal. 103.
[14] Dari pola kegiatan ekonomi misalnya, kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu: ) kebudayaan pemburu dan peramu; 2) kebudayaan peternak; 3) kebudayaan peladang,; 4) kebudayaan nelayan.
[15] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  1992.
[16] Meutia Farida Hatta Swasono, ”Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, diajukan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
[17] Sodjuangan Situmorang, ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”, makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting, Jakarta, 2006.
[18] Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta: Djambatan, 2002.
[19] Lihat Agustini Rahayu, Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2006.
[20] Abdul Gaffar Ruskhan, Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur asing (BIPA),  Pusat Bahasa, Jakarta, 2007, hal. 2.
[21] Lihat "http://budaya-indonesia.org/iaci/Halaman_Utama".                         
[22] Kunjungi http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.
[23] Tabel ini diolah penulis dari   http://budaya-indonesia.org.
[24] Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia,  Indonesiatera, Magelang, 2001.
[25] Ibid
[26] Hal serupa diulas dalam buku seni lainnya yang diterbitkan Malaysia, baik menyangkut keris, batik, arsitektur, tari, maupun kesenian rakyat. Tak sekadar buku, berbagai dokumentasi seni juga dipublikasikan lewat internet dan video cakram padat (VCD). Lihat  “Perlindungan Budaya Indonesia Lemah” Kompas, 31 Agustus 2009.
[27] Pada millenium ketiga ini, globalisasi dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia dalam sebuah sistem global yang melintasi batas-batas negara (trans-nasional). Interaksi sosial antar bangsa yang difasilitasi oleh berbagai media informasi yang canggih menggerakkan perubahan sosial di antara bangsa-bangsa dunia dalam berbagai level (lokal, nasional, internasional) menjadi sangat dinamis. Antony Gidden, seorang ilmuwan sosial terkemukan di Inggris, menamai tanda-tanda zaman ini sebagai the runaway world (dunia yang lepas kendali). Lihat lagi Asykuri ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 258.
[28] Eti Rochaeti, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan,   Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 63.
[29] Nunus Supardi, Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan,  Depbudpar, Jakarta, 2006.
[30]  Kompas,  31 Agustus 2009.
[31] Husamah, “Mengusung Multikulturalisme”, Media Indonesia, 12 Juli 2008.
[32] Daoed Joesoef, Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran: Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi,  Penerbit Kompas, Jakarta,  2001. 

2 comments:

Archive

Sections

Blog Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic
TUTORIAL BLOG

Buka Semua | Tutup Semua

Header Background

Header Background
Header Background Image. Ideal width 1600px with.

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Courses

6-latest-350px-course

About Me

Followers

Popular

Silahkan anda cari artikel disini

Pages

Hello! We’re Fenix Creative Photo Studio

Silahkan anda cari makalah disini
3-tag:Courses-65px

Popular Posts

Makalah Pendidikan Matematika Khazanah Budaya Bangsa


MENGUSUNG KEMBALI KHAZANAH
IDENTITAS BUDAYA BANGSA

Husamah


Indonesians are actually representation of rich nation because they have many cultures with various diversities. On the other hand, the fact is that there are so many cultures have lost, entirely disappeared, or stolen by others. It is because we are remiss to behave properly on the cultures and carry out them. Therefore, it needs institutional approach in the form of government’s concrete steps and reinforcement on education’s role.




Prolog
Batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak  Benda Warisan Manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee) tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi. UNESCO mengakui batik Indonesia bersama dengan 111 nominasi mata budaya dari 35 negara, dan yang diakui dan dimasukkan dalam Daftar Representatif sebanyak 76 mata budaya. Sebelumnya pada tahun 2003 dan 2005 UNESCO telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (masterpieces of the oral and intangible cultural heritage of humanity) yang pada tahun 2008 dimasukkan ke dalam Daftar Representatif. [1]
Disadari atau tidak  batik Indonesia sarat dengan teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal. Kekayaan ragam batik yang datang dari beberapa wilayah dan provinsi, menjadi bukti bahwa Indonesia layak menjadi sumber budaya di mana batik tumbuh dan berkembang. Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi. Batik terkait dengan identitas budaya rakyat Indonesia dan melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreativitas dan spiritual rakyat Indonesia. Batik Indonesia memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Bagi masyarakat Jawa misalnya, batik bukan hanya sebuah kain bercorak, tetapi juga penggambaran filosofi kehidupan dan warisan budaya leluhur yang harus dijaga.[2]
Masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity atau Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia (masterpieces of the oral and intangible cultural heritage of humanity) memang merupakan bukti pengakuan internasional terhadap salah satu mata budaya Indonesia. Namun, jika kita punya itikad baik, sejatinya inilah momentum untuk introspeksi diri terkait kelalaian kita terhadap warisan atau khazanah budaya bangsa. Mengapa?
Tulisan singkat ini, dengan segala kekurangan dan keterbatasan ilmu penulis dan sebagai seorang awam, akan mencoba mengangkat “cermin” kealfaan itu sekaligus mencari bentuk  sintesis pemecahan masalah identitas kebudayaan bangsa. Oleh karena itu, uraian dalam artikel ini dibatasi pada konsep kebudayaan dan identitas budaya nasional, ancaman terhadap kekayaan budaya bangsa, dan solusi yang ditawarkan yaitu kaitannya dengan peran pemerintah dan pendidikan.

Kebudayaan dan Identitas Kebudayaan Nasional
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang berarti daya dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.[3]
Kebudayaan dapat didefinisikan juga sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.[4]
Dalam kajian mengenai kebudayaan, kebudayaan dilihat  terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing berdiri sendiri tetapi satu sama lainnya berkaitan dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) bahasa dan komunikasi; (2) ilmu pengetahuan; (3) teknologi; (4) ekonomi; (5) organisasi sosial; (6) agama; dan (7) kesenian.[5]
            Secara sederhana, pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya Dasar (IBD) mengacu pada pengertian sebagai berikut:[6]1) Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh melalui belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjukkan hasil fisik karya manusia, meskipun hasil fisik karya manusia sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusia. Kebudayaan sebagai suatu sistem memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan baik; 2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering disebut kultur (culture, bahasa Inggris) yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang sesuatu permasalahan yang dihadapi manusia.
Dalam khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.[7]
            Menurut  Djojodigoena dalam bukunya Asas-asas Sosiologi (1985) mengatakan bahwa budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.[8] Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan bersumber pada kenyataan yang ada. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi sangkan paran, yakni dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia sesudah mati (paran). Lalu muncullah berbagai sistem kepercayaan dan agama. Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak sesuatu yang buruk. Buah perkembangan rasa terjelma dalam berbagai bentuk norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.
Kebudayaan dapat dibagi menjadi 3 macam dilihat dari keadaan jenis-jenisnya, yaitu: 1) hidup-kebatinan manusia, yaitu yang menimbulkan tertib damainya hidup masyarakat dengan adat-istiadatnya yang halus dan indah; tertib damainya pemerintahan negeri; tertib damainya agama atau ilmu kebatinan dan kesusilaan; 2) angan-angan manusia, yaitu yang dapat menimbulkan keluhuran bahasa, kesusasteraan dan kesusilaan; 3) kepandaian manusia, yaitu yang menimbulkan macam-macam kepandaian tentang perusahaan tanah, perniagaan, kerajinan, pelayaran, hubungan lalu-lintas, kesenian yang berjenis-jenis; semuanya bersifat indah.[9]
Sementara itu, sebagai suatu istilah, “identitas nasional” dibentuk oleh dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Identitas dapat diartikan sebagai ciri, tanda atau jatidiri,  sedangkan “nasional” dalam konteks ini berarti kebangsaan. Dengan demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai jatidiri nasional atau kepribadian nasional. Jatidiri nasional suatu bangsa tentu berbeda dengan jatidiri bangsa lain. Ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografi. Jatidiri nasional bangsa Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang sama. Pengalaman sejarah yang sama itu dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang  kemudian pada ujungnya melahirkan identitas nasional.[10]
Lahirnya identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subjektif, yaitu faktor-faktor historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.[11] Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells mengemukaan teori tentang munculnya identitas nasional sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan sentraliasi monarkis. Faktor ketiga mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor keempat meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indoensia, yang telah berkembang dari masa sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan.[12] Munculnya Sumpah Pemuda Oktober 1928, setidaknya sangat mendukung upaya pencarian nasionalisme Indonesia sekaligus penemuan identitas nasional bangsa Indonesia.[13]
Gagasan kebudayaan nasional sebagai identitas nasional sudah dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Gagasan itu kemudian diikuti oleh seluruh pemuda berbagai daerah di Indonesia yang membulatkan tekad untuk menyatukan Indonesia dengan menyamakan pola pikir bahwa Indonesia memang berbeda budaya tiap daerahnya tetapi tetap dalam satu kesatuan Indonesia Raya dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kebudayaan sebagai identitas nasinal menunjukkan betapa kebudayaan adalah aspek yang sangat penting bagi suatu bangsa karena jelaslah bahwa kebudayaan juga merupakan jati diri dari bangsa itu sendiri.
Kebudayaan nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan lokal atau kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma berbangsa dan bernegara. Kebudayaan nasional adalah gabungan dari kebudayaan daerah yang ada di negara tersebut. Kebudayaan daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga itu menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-penduduk yang lain. Budaya daerah mulai terlihat berkembang di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan terdahulu. Hal itu dapat dilihat dari cara hidup dan interaksi sosial yang dilakukan masing-masing masyarakat kerajaan di Indonesia yang berbeda satu sama lain.[14]
Kebudayaan nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak ada kebudayaan nasional. Itu tidak berarti kebudayaan nasional sekadar penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan nasional merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas. Kebudayaan nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.[15]
Menyikapi perkembangan zaman, selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai  pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antar sesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.  Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana  bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan  sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana bagi kita untuk memberikan jawaban atas pertanyaan,  “Siapa kita (apa identitas kita)? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?” [16]

Ancaman Terhadap Kekayaan Budaya
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.000 lebih pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama.[17] Di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa: Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, dan Madura; Bali; Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores, dan sebagainya; Kalimantan: Dayak, Melayu, Banjar dan sebagainya; Sulawesi: Bugis, Makassar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Manado, dan sebagainya.; Maluku: Ambon, Ternate, dan sebagainya; Papua: Dani, Asmat, dan sebagainya)[18]
Indonesia tersusun dari jumlah 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat.[19] Jika ditinjau dari segi bahasa, ada sekitar 726 bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara. Mulai dari penutur yang hanya berjumlah belasan orang, seperti bahasa di Papua, sampai dengan penutur yang berjumlah puluhan juta orang, seperti bahasa Jawa dan Sunda. Suku bangsa dan etnis itu adakalanya menempati daerah atau wilayah dalam sebuah provinsi dan adakalanya menempati lintas provinsi. Etnis Jawa, misalnya, menempati tiga provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Walaupun begitu, suku Jawa tersebar ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke negara Suriname. Di setiap daerah itu terdapat pula sub-sub etnis dengan sub budaya yang berbeda pula, misalnya, Solo dan Yogyakarta, sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur. Umumnya orang Indonesia mengenal, misalnya, bahwa orang Solo dan  Daerah Istimewa Yogyakarta sering dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang halus, tutur sapa yang lembut, dan budi bahasa yang santun. Hal itu menandai keunggulan budayanya. Akan tetapi, tidak jarang pula masyarakat daerah tertentu yang berbicara dan bersikap keras, namun pada hakikatnya hatinya lembut. [20]
Indonesia memiliki ratusan kelompok etnis. Tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Aceh.
Secara graris besar khazanah kekayaan atau artefak budaya tradisional Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam, tarian, ritual, ornamen, motif kain, alat musik, cerita rakyat, musik dan lagu, data makanan, seni pertunjukan, produk arsitektur, permainan tradisional, senjata dan alat perang, naskah kuno dan prasasti dan tata cara pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.[21] Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari berbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia ‘dicuri’ oleh negara lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya.
Seni pantungurindam, dan sebagainya dari berbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain. Di bidang busana, warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, CirebonPandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera Barat (Minangkabau), kainulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantanbaju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.[22] 
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Beberapa contoh yang diuraikan di atas sengaja untuk membuktikan opini di atas dan sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah benar-benar bangsa yang kaya raya, memiliki segalanya. Indonesia adalah satu-satunya negeri dengan kekayaan alam terlengkap di dunia. Indonesia dapat kita ibaratkan  sebagai seorang primadona yang menjadi rebutan para pengagumnya. Mereka melakukan apapun juga untuk merebutnya, meskipun dengan cara-cara yang memalukan dan vulgar seperti pencurian kekayaan budaya, mematenkan, atau menggunakan secara komersial.
Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun pemerintah negara lain[23]:
Tabel 1. Daftar Artefak Budaya Indonesia
No
Nama Artefak Budaya
Daerah Asal
Pelaku
1
Batik
Jawa
Produsen sepatu Adidas
2
Naskah Kuno
Riau
Pemerintah Malaysia
3
Naskah Kuno
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
4
Naskah Kuno
Sulawesi Selatan
Pemerintah Malaysia
5
Naskah Kuno
Sulawesi Tenggara
Pemerintah Malaysia
6
Rendang
Sumatera Barat
Oknum WN Malaysia
7
Sambal Bajak
Jawa Tengah
Oknum WN Belanda
8
Sambal Petai
Riau
Oknum WN Belanda
9
Sambal Nanas
Riau
Oknum WN Belanda
10
Tempe
Jawa
Beberapa Perusahaan Asing
11
Lagu Rasa Sayang Sayange
Maluku
Pemerintah Malaysia
12
Tari Reog Ponorogo
Jawa Timur
Pemerintah Malaysia
13
Lagu Soleram
Riau
Pemerintah Malaysia
14
Lagu Injit-injit Semut
Jambi
Pemerintah Malaysia
15
Alat Musik Gamelan
Jawa
Pemerintah Malaysia
16
Tari Kuda Lumping
Jawa Timur
Pemerintah Malaysia
17
Tari Piring
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
18
Lagu Kakak Tua
Maluku
Pemerintah Malaysia
19
Lagu Anak Kambing Saya
dari Nusa Tenggara
Pemerintah Malaysia
20
Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
Oknum WN Perancis
21
Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara
Jawa Tengah
Oknum WN Inggris
22
Motif Batik Parang
Yogyakarta
Pemerintah Malaysia
23
Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti
Bali
Oknum WN Amerika
24
Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat
Asli Indonesia
25
Badik Tumbuk Lada
-
Pemerintah Malaysia
26
Kopi Gayo
Aceh
perusahaan multinasional (MNC) Belanda
27
Kopi T oraja
Sulawesi Selatan
perusahaan Jepang
28
Musik Indang Sungai Garinggiang
Sumatera Barat
Pemerintah Malaysia
29
Kain Ulos
-
Pemerintah Malaysia
30
Alat Musik Angklung
Jawa Barat
Pemerintah Malaysia
31
Lagu Jali-Jali
-
Pemerintah Malaysia
32
Tari Pendet
Bali
Pemerintah Malaysia

Pertanyaan kita sekarang mengapa pihak asing atau pun negara lain dengan begitu beraninya mengklaim budaya nasional Indonesia? Menurut Maman S Mahayana, konflik klaim kebudayaan sesungguhnya lahir dari kondisi geografis yang berdampingan, sebagai entitas kembar identik antara dua negara. Akar budaya dan karakter manusia yang hampir serupa, ditambah dinamisasi serta mobilitas manusianya dari waktu ke waktu, akhirnya melahirkan banyak produk budaya yang mirip (grey culture). Namun, sama halnya dengan manusia -- yang meski sekembar apa pun --  pastilah ada ciri tertentu masing-masing. Begitu pula bangsa. Tiap-tiap bangsa memiliki karakter khas yang membedakan satu dari yang lain.[24] Karena itu, selama kedua pihak konsisten pada kekhasan masing-masing, niscaya potensi konflik pun akan jarang muncul.
Jadi, mengapa konflik klaim budaya terjadi antara Indonesia-Malaysia?[25] Pertama, adanya kemunculan pihak yang secara agresif dan tiba-tiba mengklaim sebuah identitas tertentu. Padahal, setelah sekian lama, identitas tersebut menjadi ciri khas ”kembarannya” dan mereka hidup dalam situasi harmonis. Jauh sebelum terjadinya insiden Tari Pendet, tari itu telah dikenal publik Indonesia dan mancanegara sebagai bagian dari tradisi Bali. Karena itu, sangat mengagetkan publik Indonesia ketika tari pendet tiba-tiba dinyatakan sebagai bagian dari identitas Malaysia.
Kedua, klaim dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Dalam konteks politik, tindakan apa pun yang dilakukan pemerintah secara publik merepresentasikan pendapat resmi negara tersebut, tidak terkecuali iklan kunjungan wisata Malaysia kali ini. Akibatnya, respons yang muncul dari negara pemilik identitas sangat frontal.
Ketiga, adanya kemampuan yang tidak imbang di antara kedua entitas dalam mendefinisikan dan melestarikan kebudayaan masing-masing. Tidak dipungkiri jika kini Malaysia berkembang menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di Asia Tenggara, baik di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun ekonomi. Celakanya, keunggulan tersebut berbanding lurus dengan upaya Malaysia mengklaim beberapa identitas kebudayaan penting negara tetangganya. Kasus klaim atas Batik, Reog, dan lagu Rasa Sayange merupakan salah satu bukti atas asumsi tersebut. Menariknya, upaya Malaysia tersebut biasanya telah disertai dengan upaya legalitas hukum untuk mematenkan klaim yang dimaksud (de jure). Sementara itu, Indonesia biasanya hanya mengandalkan pada kondisi kepemilikan de facto tanpa banyak mempertimbangkan aspek hukum.
Semakin banyaknya khasanah budaya bangsa yang hilang ternyata lebih banyak berujung pada faktor terakhir (ketiga) yaitu kelalaian kita dalam menyikapi sekaligus mengelola kekayaan itu. Kita memiliki kemampuan yang tidak imbang akibat lemahnya semangat dan penghargaan terhadap budaya sementara bangsa lain lebih memiliki kesadaran yang juga diwujudkan dalam tindakan nyata mereka. Akhirnya, kita terluka dan malu, karena kita sadar sebagai pemilik kebudayaan itu, kita tidak memperhatikannya. Selama ini kebudayaan selalu dipinggirkan pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli. Ketidakpedulian warga negara Indonesia terhadap kebudayaannya itupun yang membuat seluruh bangsa ini tergopoh-gopoh melakukan pendataan kesenian asli Indonesia, ketika ada klaim dari negara lain. Menyaksikan klaim negara lain, kita marah, tetapi setelah itu kita tidak pernah menanganinya secara baik. Akhirnya, secara perlahan-lahan kebudayaan bangsa ini justru punah. Jika mau jujur, wajah kita hampir sama seperti para polisi dalam film-film India, yakni selalu terlambat datang ketika semua masalah sudah tuntas. Kita selalu tidur jika berbicara tentang budaya dan kebudayaan, juga aset dan pusaka bangsa. Baru setelah dipungut dan diambil orang atau negara lain, kita baru sadar, terjaga dan terkaget. Tidak hanya itu, kita pun panik, berteriak-teriak, dan ribut-ribut.
Kondisi ini tentunya berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan Malaysia. Mereka sangat sadar akan eksistensi kebudayaan. Kebudayaan adalah senjata terbaik untuk diplomasi internasional dengan potensi bisnis yang juga sangat bagus. Malaysia tahu mereka kekurangan budaya, mereka pintar melihat kebudayaan negara tetangganya, dan mereka menghargai budaya untuk mencari keuntungan, sedangkan pemerintah kita tidak peduli. Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai buku. Dalam buku Spirit of Wood The Art Malay Woodcarfing, yang merupakan seni budaya yang berkembang hanya di wilayah Kelantan, Terengganu, dan Pattani, misalnya, diulas berbagai seni ukir kayu, pembuatan keris, gunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga lainnya.[26]
Ancaman besar lain yang memiliki efek terhadap identitas budaya bangsa adalah perubahan dalam masyarakat, terjadi karena adanya gelombang globalisasi yang melahirkan budaya global.[27] Proses globalisasi budaya yang berbarengan dengan globalisasi ekonomi serta pasar akan merupakan ancaman terhadap budaya suatu bangsa. Kalau sebelumnya budaya suatu bangsa yang tumbuh terisolir dan berkembang secara mantap dan statis, maka dalam dunia terbuka keadaan demikian kian terusik. Apabila budaya bangsa terusik maka terusiklah identitas bangsa itu. Berbagai perubahan fundamental terus dan akan berlangsung di semua aspek kehihupan manusia dalam era globalisasi. Kemajuan teknologi mengakibatkan interaksi budaya berjalan semakin intensif dan terbuka sehingga berdampak pada terjadinya perubahan budaya yang sangat fundamental. Globalisasi budaya menyebakan perubahan pola gaya hidup, bahkan nilai– nilai dan tatanan kehidupan manusia. Dalam era globalisasi budaya ada tiga aspek kehidupan yang berubah dan cenderung terus berubah, yaitu budaya 3–F, budaya makan (food), budaya berbusana (fashion) dan budaya memenuhi kesenangan hidup (fun).[28] 
Derasnya arus informasi akhirnya menyebabkan lunturnya kecintaan masyarakat terutama generasi muda bangsa terhadap peninggalan budaya tradisional (budaya asli) warisan nenek moyang. Anak-anak, generasi muda dan kaum dewasa, kini tidak lagi mempunyai rasa ketertarikan dan minat terhadap budaya asli Indonesia. Bahkan parahnya ada sebagian golongan yang apatis dan apriori terhadap budayanya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan makin sukanya masyarakat mengadopsi dan bangga terhadap budaya asing. Mereka lebih gengsi berperilaku seperti orang barat dengan keseniannya juga, serta meletakkan posisi budaya bangsa sebagai budaya yang marginal atau kelas rendahan.

Mengusung Kembali Identitas Budaya
Setelah diamandemen, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya." 
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya"  merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai  kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.[29] 
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa, khususnya pemerintah secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk menyelamatkan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya, termasuk manusia, budaya, bahasa dan sejarahnya.
Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009,[30] misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan nasional. Itu dengan melibatkan  semua pihak se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi kebudayaan nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya menyaring budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.
Salah satu dimensi lain yang tidak bisa diabaikan dalam upaya mengusung kembali khasanah identitas budaya bangsa adalah dunia pendidikan. Karena ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya yang berdampingan dengan globalisasi ekonomi, maka strategi yang harus diutamakan adalah strategi budaya yang berbasis penguatan pendidikan. Sumberdaya manusia yang peka terhadap identitas budaya, serta berdaya saing tiggi juga berwawasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dibangun melalui pendidikan.
Pendidikan, baik formal maupun non-formal adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati.[31] Dalam pandangan Daoed Joesoef[32] kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah diperbarui ini, masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekadar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya. Dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas kebudayaan, pendidikan merupakan wahana sentral dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda.
Wacana tersebut dalam tahap implementasinya mengharuskan pendidikan yang diterapkan bersumber dari bentuk kurikulum yang sarat muatan atau nilai penguatan identitas budaya nasional. Ini berarti kurikulum yang bermuatan budaya nasional akan sama antara satu daerah yang satu dengan daerah yang lain, tetapi akan berbeda ketika menyangkut identitas budaya lokal masing-masing. Selain membagi dan berbagi pengetahuan mengenai adat istiadat lokal dan nasional, nilai-nilai budaya bersama juga harus disampaikan dalam proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional. Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal maupun nasional dan pemahaman mengenai nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia yang bangga terhadap tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya yang kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga kedaulatan, kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya, dalam hal ini adalah identitas kebudayaan nasional.

Epilog
 Tulisan ini pun secara sengaja tidak akan berakhir pada sebuah kesimpulan sebagaimana layaknya. Namun, ada baiknya kita sedikit menyadari bahwa kebijakan konkrit sebagaimana yang telah dijelaskan di atas medesak untuk dilakukan agar bangsa ini tidak terjerembab ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya.  Strategi kebudayaan yang monolitik mesti dipudarkan oleh upaya pemerintah memfasilitasi serta mengadvokasi setiap hak sosial-budaya yang dimiliki kebudayaan lokal. Jika ingin menyelamatkan 'jati diri bangsa', maka strategi kebudayaan yang usang perlu dibuang, karenanya, politik kebudayaan perlu direartikulasi dan revitalisasi dalam nuansa baru yang lebih memberdayakan, bukan menentukan, tidak jatuh pada logika hasrat materialistik-kapitalistik semata.
Beberapa saran yang dapat diajukan terkait dengan pendidikan adalah;
1.      Merancang sebuah kurikulum yang sarat muatan budaya lokal dan nasional yang diakui dan dijadikan identitas bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran yang telah ada. Hal ini tentu tidak akan menambah beban siswa daripada harus menjadi mata pelajaran sendiri. Tentunya wacana ini akan valid jika didukung penelitian yang tepat dan sesuai.
2.      Mmenerapkan kurikulum yang tersebut mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah.
3.      Menentukan metode dan media pembelajaran yang paling tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

Daftar Pustaka
Anonim. “Mungkinkah Pariwisata Budaya Indonesia Maju?”.  Sinar Harapan.  27 Mei 2004.

Chamim, A., Cipto, B., Nashir, H., Istianah, ZA., Bashori, K., Setiartiti, L., Azhar, M., Tuhuleley, S.  Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY. 2003.

Dewantara, K.H.   Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994.

Husamah. “Mengusung Multikulturalisme. Media Indonesia, 12 Juli 2008.

Joesoef, D. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran” Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta: Penerbit Kompas. 2001.

Karim,M.R. “Arti Keberadaan Nasionalisme”. Analsis CSIS XXV (2). 1996.

Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.  2002.

Kompas,  31 Agustus 2009.

Mahayana, MS. Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia. Magelang: Indonesiatera. 2001.

Rahayu, A. Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2006.

Situmorang, S.  “Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”. Makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting.  2006.

Sugiarti, dan Trisakti Handayani.  Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar. Malang: UMM Press. 1999.

Supardi, N. Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan. Jakarta: Depbudpar Suparlan,  Parsudi. 2005.  Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. 2006.

Suryo, J. 2002. Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education. Yogyakarta: LP3 UMY.

Suseno, FM.  Filsafat Kebudayaan Politik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. 1992.

Swasono, MFH.  Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir. Bukittinggi: makalah Kongres Kebudayaan V, Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.

Rochaeti, E. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.

Ruskhan, AG.   Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA)”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan Asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gakuen Training Center, Nagoya, Jepang, 10-11 November 2007.


[1] Lihat “Batik Indonesia Resmi Diakui UNESCO”, Antara,  Jumat, 2 Oktober 2009
[2] Periksa “Batik Warisan Budaya Indonesia”, dalam  http://www.jatengpromo.com, edisi 15 Oktober 2009.
[3] Sugiarti dan Trisakti Handayani, Kajian Kontemporer Ilmu Budaya Dasar  UMM Press, Malang, 1999, hal. 17.
[4] Parsudi Suparlan,  Suku bangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa,  Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2005, hal. 5.
[5] Ibid, hal. 2-3
[6] Sugiarti dan Trisakti Handayani, hal. 17-18.
[7] Sinar Harapan,  27 Mei 2004.
[8] Sugiarti dan Trisakti Handayani Ibid. hal. 8.
[9] Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan ,  Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994.
[10] Asykuri Ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 209.
[11] Joko Suryo, Pembentukan Identitas Nasional, Makalah pada Seminar Terbatas Pengembangan Wawasan tentang Civic Education, LP3 UMY, Yogyakarta, 2002.
[12] Ibid.
[13] M.R. Karim. ”Arti Keberadaan Nasionalisme”, Analisis CSIS XXV/2/1996, hal. 103.
[14] Dari pola kegiatan ekonomi misalnya, kebudayaan daerah dikelompokan beberapa macam yaitu: ) kebudayaan pemburu dan peramu; 2) kebudayaan peternak; 3) kebudayaan peladang,; 4) kebudayaan nelayan.
[15] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  1992.
[16] Meutia Farida Hatta Swasono, ”Kebudayaan Nasional Indonesia: Penataan Pola Pikir”, diajukan pada Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, 20– 22 Oktober 2003.
[17] Sodjuangan Situmorang, ”Pentingnya Dokumentasi Toponimi untuk Mendukung Tata Pemerintahan yang Baik”, makalah dalam The 13th Asia South East & Pacific South West Divisional Meeting, Jakarta, 2006.
[18] Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta: Djambatan, 2002.
[19] Lihat Agustini Rahayu, Pariwisata: Konseptualisasi Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2006.
[20] Abdul Gaffar Ruskhan, Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur asing (BIPA),  Pusat Bahasa, Jakarta, 2007, hal. 2.
[21] Lihat "http://budaya-indonesia.org/iaci/Halaman_Utama".                         
[22] Kunjungi http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.
[23] Tabel ini diolah penulis dari   http://budaya-indonesia.org.
[24] Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia,  Indonesiatera, Magelang, 2001.
[25] Ibid
[26] Hal serupa diulas dalam buku seni lainnya yang diterbitkan Malaysia, baik menyangkut keris, batik, arsitektur, tari, maupun kesenian rakyat. Tak sekadar buku, berbagai dokumentasi seni juga dipublikasikan lewat internet dan video cakram padat (VCD). Lihat  “Perlindungan Budaya Indonesia Lemah” Kompas, 31 Agustus 2009.
[27] Pada millenium ketiga ini, globalisasi dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia dalam sebuah sistem global yang melintasi batas-batas negara (trans-nasional). Interaksi sosial antar bangsa yang difasilitasi oleh berbagai media informasi yang canggih menggerakkan perubahan sosial di antara bangsa-bangsa dunia dalam berbagai level (lokal, nasional, internasional) menjadi sangat dinamis. Antony Gidden, seorang ilmuwan sosial terkemukan di Inggris, menamai tanda-tanda zaman ini sebagai the runaway world (dunia yang lepas kendali). Lihat lagi Asykuri ibn Chamim et al., Civic Hukum: Pendidikan Kewarganegaraan, Diktilitbang PP Muhammadiyah dan LP3 UMY, Yogyakarta, 2003, hal. 258.
[28] Eti Rochaeti, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan,   Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 63.
[29] Nunus Supardi, Dalam Memajukan Kebudayaan Bangsa Kita Kehilangan Haluan,  Depbudpar, Jakarta, 2006.
[30]  Kompas,  31 Agustus 2009.
[31] Husamah, “Mengusung Multikulturalisme”, Media Indonesia, 12 Juli 2008.
[32] Daoed Joesoef, Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran: Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi,  Penerbit Kompas, Jakarta,  2001. 

Share

2 comments

  1. Muniri
    Thanks you so nuch, semoga bermanfaat. Amin
  2. Muniri
    Thanks you so nuch, semoga bermanfaat. Amin