Comments

3-comments

FOLLOW ME

LATEST

3-latest-65px

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Ads block

Banner 728x90px

Section Background

Section Background

Your Name


Your Message*

SEARCH

Makalah Pendidikan Matematika Sejarah Islam dan Kekuasaan

Sejarah islam dan kekuasaan

Sejarah sesungguhnya adalah aktivitas yang dilakukan manusia pada masa lampau, ia hanya akan bermakna jika dijadikan sebagai cermin secara bijak oleh generasi masa datang agar tidak terjebak pada lubang kegagalan yang sama yang dilakukan para pendahulunya. Dengan sejarah kita belajar rekam jejak agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam menghadapi peristiwa yang hampir serupa. Karena sejarah tak akan pernah berulang, pengulangan hanya terjadi pada fenomena fenomenanya.
Allan Navins, sejarawan Amerika Serikat dengan bagus merumuskan bahwa “History is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future”. Hegel, seorang filosof yang menginspirasi Marx, juga pernah mengatakan definisi ihwal sejarah, “What experience and history teach is this-people and government never have learned anything from history”. Kepingan kepingan masa lalu yang berserak inilah yang menjadi titik hubung antara masa kini dan masa depan kelak, baik masa lalu itu buram, gelap, cemerlang, dan kadang tak mengenakkan bagi sebagian pihak. Tetapi inilah sejarah, ia tak bisa di-rewind seperti apa yang kita kehendaki secara ideal dan memuaskan semua kalangan. Sejarah telah menuliskan faktanya sendiri, baik fakta itu dihadirkan atau disembunyikan di tempat gelap maupun terang.
Sejarah, dengan demikian adalah pengalaman masa lalu umat manusia dalam ragam bentuknya yang bisa dinikmati di masa datang, dan semua orang berhak menuliskan sejarahnya sendiri-meminjam frase sejarawan Carl Becker-Everyman is his own historian. Bentuk sejarah yang hadir adalah kompleksitas fase perjalanan manusia dalam kehidupannya sendiri yang mewujud dalam roman, komedi, satir, dan tragika kehidupan.
Manusia lah yang membunyikan fakta sejarah, sementara peristiwa sejarah itu sendiri hanya diam dan membisu. Manusia adalah aktor dan penafsir masa silam. Tak terkecuali dengan sejarah Islam yang penuh silang sengkarut di masa lampau. Politik kekuasaan Islam di masa keemasannya yang berakibat pada nasib umat Islam di masa kini tidak hanya penuh puja puji kegemilangan, kejayaan, dan romantisme kehebatan, tetapi juga diwarnai dengan intrik politik busuk, percikan darah, dan hunusan pedang bagi lawan politik yang tak sepaham. Kekuasaan memang selalu menyilaukan dan melenakan. Sungguh benar apa yang sering kita dengar bahwa dalam politik tak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Bila ditilik lebih lanjut akan tampak kegetiran kegetiran masa lampau yang tak banyak terceritakan dalam kisah kisah sejarah “resmi”, karena kita biasanya tak terlalu suka akan hal hal buruk yang diterusterangkan secara vulgar. Keterusterangan akan kejujuran sejarah adalah hal yang perlu dikembangkan agar kita semua bisa memandang sejarah secara obyektif tanpa dimasuki kepentingan sesaat yang jangka pendek. Tanpa itu, nasib umat Islam ke depan tak akan lebih baik dari masa sekarang.
Syafii Ma’arif dalam Titik titik Kisar di Perjalananku (2006:229) menulis dengan rasa getir ihwal nasib umat pada saat ini, “Teori politik Islam yang diciptakan dalam lingkungan budaya imperial dan dinastik harus dibongkar. Tanpa pembongkaran ini, Islam akan menjadi tawanan dari berbagai kepentingan dan intrik politik yang amoral. Kegagalan umat Islam berurusan dengan kekuatan modernitas tidak boleh lalu lari berlindung dalam kungkungan masa lampau yang diidolakan secara tidak cerdas dan kritikal”.
Wanti wanti Syafii Ma’arif menyiratkan beberapa hal bahwa setiap umat Islam akan menuliskan formula sejarahnya sendiri, bahwa kejayaan Islam di masa silam tidak boleh dijadikan pelarian dan di puji tanpa syarat serta tidak ada sedikit pun ruang kritik terhadapnya, bahwa semangat antikuarian yang masih diidap oleh sebagian umat Islam adalah sebentuk kegamangan dalam menghadapi realitas jaman yang senantiasa berubah. Sedangkan, sejarah adalah produk dari manusia yang tentunya tidak akan lepas dari segala khilaf karena manusia fitrahnya adalah manusiawi. Nurcholish Madjid pernah berujar bahwa sejarah adalah sejarah. Human history is nothing sacred about it. Sejarah tidak sakral.
Ya, sejarah tidaklah sakral. Sejarah bukanlah benda mati, ia memerlukan penafsiran dan penulisan ulang bagi setiap jamannya. Dan itu hanya akan berhasil jika kita terbuka terhadap sejarah dan penafsiran sejarah. Berterus terang terhadap apapun yang pernah terjadi tanpa bias dan distorsi, termasuk dalam sejarah umat Islam yang telah berlalu ratusan tahun. Namun sangat disayangkan ketika ada segelintir yang mencoba menulis ulang sejarah Islam ternyata disikapi secara sinis, takfir, dan dicap bacaan terlarang oleh otoritas yang merasa otoritatif mengeluarkan fatwa terhadap kebebasan berpikir seseorang. Bahkan tak jarang vonis mati disematkan padanya. Farag Fouda adalah salah satu contoh.
Farag Fouda adalah salah satu intelektual Mesir yang pernah merasakan vonis takfir oleh sejumlah ulama di Mesir. Beberapa yang lain diantaranya adalah Qasim Amin, Ali Abd al Raziq, Taha Husain, Naguib Mahfudz, dan Nasr Hamid Abu-Zayd. Jauh sebelum itu, ratusan tahun ketika Daulah Umayyah dan Abbasiyah berkuasa, beberapa kasus serupa pernah terjadi. Umat Islam tidak bisa melupakan represi yang dirasakan oleh Said bin Jabir dan Said bin al Musayyib pada dinasti Umawiyah. Begitu pula dengan Hasan al Basri, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafii yang mendapat tekanan dari rezim penguasa. Bahkan secara khusus, umat Islam masih merasakan kasus mihnah yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal dan kasus nukbah yang dirasakan Ibn Rusyd (Tashwirul Afkar no. 8 tahun 2000:30). Dan jangan lupa, di Indonesia pun kasus takfir pernah dialamatkan pada Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh muda NU dan punggawa Jaringan Islam Liberal hanya karena menulis sebuah artikel di harian nasional tentang menyegarkan kembali pemahaman Islam pada November 2002.
Karya Farag Fouda yang banyak menuai kontroversi dan hujatan banyak pihak di Mesir adalah ketika ia meluncurkan buku berjudul al Haqiqah al Ghaibah. Dalam bukunya ini ia menceritakan sisi sisi kelam praktik politik umat Islam dan melakukan interpretasi terhadap hubungan Islam sebagai agama serta Islam jika didudukkan dalam bingkai negara. Tak ayal, ia mesti menebus kebebasan berpendapatnya dengan meregang nyawa pada 1992.
Sebagai seorang intelektual, pemikir, dan penggiat hak asasi manusia, Fouda tentu tidak asal tulis dalam membeberkan kebenaran sejarah yang seringkali telah lama dibenamkan oleh sebagian pihak yang berkepentingan. Padahal, Islam sebagai agama tak akan berkurang kemuliaannya jika hanya umatnya pernah bertikai di masa lalu dan melakukan keganjilan sejarah yang mungkin saja dinilai minor di masa kini. Fouda dengan cermat menelisik kembali sumber sumber klasik dalam menemukan sejarah yang dihilangkan, yang ironisnya, sumber sumber bacaan klasik itu sangat dekat dengan keseharian para pengkritik Farag Fouda.
Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini-Kebenaran yang Hilang penerbit Paramadina-Fouda melakukan pembacaan baru terhadap generasi salaf pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat. Sebuah generasi yang mendapat tempat istimewa karena pernah dididik langsung oleh tangan Rasulullah. Sebuah generasi yang semasa hidupnya pernah bersama sama rasul dan menjadikannya sebagai sumber fatwa utama di tengah umat Islam yang mulai menanjak pamornya. Ini adalah sebuah generasi yang sampai saat ini masih menjadi buah bibir dan berharap generasi seperti ini muncul lagi di jaman ini. Tak heran, ada sebagian golongan menahbiskan dirinya sebagai kaum salafi.
Menurut Fouda, periode salaf adalah periode yang biasa biasa saja, tak ada yang istimewa dengannya, semuanya tampak manusiawi dan berjalan di atas hukum sejarah. Kalaupun ada catatan kesuksesan, diantaranya adalah semakin luasnya kekuasaan Islam yang tidak saja tersebar di jazirah Arab melainkan juga mulai berdenyut dan merambah kawasan Asia, Afrika, dan Eropa. Di sisi lain, catatan memalukan dan memilukan ikut tertoreh pada jaman al-khulafa al-Rasyidun yang dalam sejarah pernah dinahkodai oleh Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian dari kita mungkin tak menyadari bahwa tiga dari empat khalifah ini mengakhiri masa kekuasaannya dengan tragis, bersimbah darah dan menyisakan persoalan bagi periode selanjutnya. Hanya Abu Bakar yang wafat secara normal, tiga lainnya mati keji. Sebenarnya, sejak wafat nabi, friksi itu mulai tampak ke permukaan. Pertentangan kaum Muhajirin dan Anshar dalam menentukan pemimpin pasca nabi adalah pangkal persoalannya dan peristiwa Tsaqifah Bani Saidah adalah puncaknya. Bahkan hingga Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pun, Saad bin Ubadah-seorang pemuka Khazraj-dan sampai meninggalnya melakukan sikap oposisi terhadap kepemimpinan Abu Bakar. Hal ini tentu wajar saja dan bukan aib yang harus ditutup tutupi. Bahwa kekuasaan adalah menggiurkan, bahwa kekuasaan adalah kompetisi, dan dalam tradisi alih kekuasaan selalu saja terjadi persaingan antara mayoritas dan minoritas.
Fouda dalam buku Kebenaran yang Hilang juga mempertanyakan kebijakan yang ditempuh oleh Abu Bakar Shidiq ketika melakukan penumpasan terhadap orang orang yang dituduh murtad. Apakah mereka yang dituduh murtad itu benar benar murtad dari Islam ataukah hanya karena mereka enggan membayar zakatnya kepada Abu Bakar dan Baitul Mal. Kebijakan Abu Bakar dipertanyakan oleh Umar yang merasa tidak sreg, karena orang orang yang ditumpas oleh Abu Bakar tersebut membaca syahadat. Jawaban Abu Bakar menyatakan bahwa pengucapan syahadat ada konsekuensinya, dalam konteks ini yakni menyerahkan zakat ke Baitul Mal. Padahal, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah ijtihad. Sementara bagi Umar, tulis Fouda, ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia sebetulnya sedang teringat akan sebuah hadis rasul yang menyatakan bahwa seorang muslim tidak berhak dibunuh kecuali tiga alasan: berzina setelah rumah tangga, murtad setelah beriman, atau diqisas karena melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Menurut Fouda, hal ini menunjukkan bahwa ijtihad Abu Bakar yang notabene orang dekat Muhammad Saw tidaklah sakral, ia bukan teks suci tanpa ruang kritik, buktinya Umar pun pernah menanyakan ihwal kebijakannya. Dan setelah Abu Bakar meninggal dan diganti oleh khalifah selanjutnya, kebijakan ini pun tak dilanggengkan.
Pengganti Abu Bakar, yakni Umar, menurut Fouda adalah sosok agamawan dan negarawan yang berani melakukan ijtihad tanpa kehilangan substansi teks yang dimaknainya. Ia juga adalah sosok asketis-walau ia khalifah- tanpa tanding pada jamannya. Al Mas’udi dalam Muruj al Dzahab seperti yang ditulis oleh Fouda menceritakan “Ketika Umar melaksanakan haji, selama perjalanan pergi dan pulang ke Madinah, ia hanya menyedekahkan uang sekitar 16 Dinar. Ia bahkan mengatakan kepada anaknya , Abdullah: ‘Kita telah berbelanja secara berlebihan dalam perjalanan ini’.” Bandingkan “kekayaan” Umar dengan Usman ketika wafatnya. Tatkala Usman terbunuh, di dalam brankasnya terdapat 30 juta 500 ribu dirham, serta 100 ribu dinar. Semuanya dijarah dan hilang tak bersisa dalam pemberontakan yang mengakhiri hidupnya. Ia juga meninggalkan seribu ekor unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah sekitar 200 ribu dinar untuk Beradis, Khaibar, dan Wadil Qura.
Farag Fouda dengan tajam mengatakan bahwa tak ada salahnya para sahabat nabi menjadi kaya semau maunya dengan apa yang diusahakan, namun, lanjut Fouda, mengukur kredibilitas pemuka pemuka sahabat nabi tentu mesti berbeda dengan orang kebanyakan, mereka mestinya lebih asketis daripada yang lain. Karena, di mata generasi selanjutnya, para sahabat yang dekat dengan nabi mempunyai posisi yang terhormat dilihat dari dari segi keimanan dan perilakunya sehari hari.
Fouda tak hanya mengupas pembacaan ulang terhadap sejarah al-Khalifah al-Rasyidun, tetapi juga menguliti kebobrokan para khalifah masa Umayyah dan Abbasiyah. Di balik kecemerlangan prestasi yang diukir oleh keduanya, tersimpan borok borok sejarah yang mestinya tidak terulang lagi di masa depan. Terbukti, sistem khilafah yang dianutnya tak serta merta membawa kedamaian, rasa aman, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pada titik ini kita mesti menyadari bahwa sejarah Islam tak hanya menyimpan suka cita tetapi juga banyak membawa duka cita yang tak tersampaikan secara terang dan jelas.
Hanya dengan jujur kepada sejarah lah kita bisa menjadi orang yang bijaksana sebagaimana diungkapkan Sejarawan Syafii Ma’arif dalam otobiografinya Titik titik Kisar di Perjalananku bahwa “semua hasil sejarah pasti terikat dengan ruang dan waktu. Masa lampau adalah milik mereka yang menciptakan, bukan milik kita. Milik kita hanyalah semua yang kita ciptakan, sekalipun kita tidak mungkin melompat dari sebuah kekosongan. Disinilah perlunya orang belajar sejarah secara cerdas, jujur, dan kritikal”(2006:402).

No comments:

Post a Comment

Archive

Sections

Blog Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic
TUTORIAL BLOG

Buka Semua | Tutup Semua

Header Background

Header Background
Header Background Image. Ideal width 1600px with.

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Section Background

Section Background
Background image. Ideal width 1600px with.

Courses

6-latest-350px-course

About Me

Followers

Popular

Silahkan anda cari artikel disini

Pages

Hello! We’re Fenix Creative Photo Studio

Silahkan anda cari makalah disini
3-tag:Courses-65px

Popular Posts

Makalah Pendidikan Matematika Sejarah Islam dan Kekuasaan

Sejarah islam dan kekuasaan

Sejarah sesungguhnya adalah aktivitas yang dilakukan manusia pada masa lampau, ia hanya akan bermakna jika dijadikan sebagai cermin secara bijak oleh generasi masa datang agar tidak terjebak pada lubang kegagalan yang sama yang dilakukan para pendahulunya. Dengan sejarah kita belajar rekam jejak agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam menghadapi peristiwa yang hampir serupa. Karena sejarah tak akan pernah berulang, pengulangan hanya terjadi pada fenomena fenomenanya.
Allan Navins, sejarawan Amerika Serikat dengan bagus merumuskan bahwa “History is actually a bridge connecting the past with the present and pointing the road to the future”. Hegel, seorang filosof yang menginspirasi Marx, juga pernah mengatakan definisi ihwal sejarah, “What experience and history teach is this-people and government never have learned anything from history”. Kepingan kepingan masa lalu yang berserak inilah yang menjadi titik hubung antara masa kini dan masa depan kelak, baik masa lalu itu buram, gelap, cemerlang, dan kadang tak mengenakkan bagi sebagian pihak. Tetapi inilah sejarah, ia tak bisa di-rewind seperti apa yang kita kehendaki secara ideal dan memuaskan semua kalangan. Sejarah telah menuliskan faktanya sendiri, baik fakta itu dihadirkan atau disembunyikan di tempat gelap maupun terang.
Sejarah, dengan demikian adalah pengalaman masa lalu umat manusia dalam ragam bentuknya yang bisa dinikmati di masa datang, dan semua orang berhak menuliskan sejarahnya sendiri-meminjam frase sejarawan Carl Becker-Everyman is his own historian. Bentuk sejarah yang hadir adalah kompleksitas fase perjalanan manusia dalam kehidupannya sendiri yang mewujud dalam roman, komedi, satir, dan tragika kehidupan.
Manusia lah yang membunyikan fakta sejarah, sementara peristiwa sejarah itu sendiri hanya diam dan membisu. Manusia adalah aktor dan penafsir masa silam. Tak terkecuali dengan sejarah Islam yang penuh silang sengkarut di masa lampau. Politik kekuasaan Islam di masa keemasannya yang berakibat pada nasib umat Islam di masa kini tidak hanya penuh puja puji kegemilangan, kejayaan, dan romantisme kehebatan, tetapi juga diwarnai dengan intrik politik busuk, percikan darah, dan hunusan pedang bagi lawan politik yang tak sepaham. Kekuasaan memang selalu menyilaukan dan melenakan. Sungguh benar apa yang sering kita dengar bahwa dalam politik tak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Bila ditilik lebih lanjut akan tampak kegetiran kegetiran masa lampau yang tak banyak terceritakan dalam kisah kisah sejarah “resmi”, karena kita biasanya tak terlalu suka akan hal hal buruk yang diterusterangkan secara vulgar. Keterusterangan akan kejujuran sejarah adalah hal yang perlu dikembangkan agar kita semua bisa memandang sejarah secara obyektif tanpa dimasuki kepentingan sesaat yang jangka pendek. Tanpa itu, nasib umat Islam ke depan tak akan lebih baik dari masa sekarang.
Syafii Ma’arif dalam Titik titik Kisar di Perjalananku (2006:229) menulis dengan rasa getir ihwal nasib umat pada saat ini, “Teori politik Islam yang diciptakan dalam lingkungan budaya imperial dan dinastik harus dibongkar. Tanpa pembongkaran ini, Islam akan menjadi tawanan dari berbagai kepentingan dan intrik politik yang amoral. Kegagalan umat Islam berurusan dengan kekuatan modernitas tidak boleh lalu lari berlindung dalam kungkungan masa lampau yang diidolakan secara tidak cerdas dan kritikal”.
Wanti wanti Syafii Ma’arif menyiratkan beberapa hal bahwa setiap umat Islam akan menuliskan formula sejarahnya sendiri, bahwa kejayaan Islam di masa silam tidak boleh dijadikan pelarian dan di puji tanpa syarat serta tidak ada sedikit pun ruang kritik terhadapnya, bahwa semangat antikuarian yang masih diidap oleh sebagian umat Islam adalah sebentuk kegamangan dalam menghadapi realitas jaman yang senantiasa berubah. Sedangkan, sejarah adalah produk dari manusia yang tentunya tidak akan lepas dari segala khilaf karena manusia fitrahnya adalah manusiawi. Nurcholish Madjid pernah berujar bahwa sejarah adalah sejarah. Human history is nothing sacred about it. Sejarah tidak sakral.
Ya, sejarah tidaklah sakral. Sejarah bukanlah benda mati, ia memerlukan penafsiran dan penulisan ulang bagi setiap jamannya. Dan itu hanya akan berhasil jika kita terbuka terhadap sejarah dan penafsiran sejarah. Berterus terang terhadap apapun yang pernah terjadi tanpa bias dan distorsi, termasuk dalam sejarah umat Islam yang telah berlalu ratusan tahun. Namun sangat disayangkan ketika ada segelintir yang mencoba menulis ulang sejarah Islam ternyata disikapi secara sinis, takfir, dan dicap bacaan terlarang oleh otoritas yang merasa otoritatif mengeluarkan fatwa terhadap kebebasan berpikir seseorang. Bahkan tak jarang vonis mati disematkan padanya. Farag Fouda adalah salah satu contoh.
Farag Fouda adalah salah satu intelektual Mesir yang pernah merasakan vonis takfir oleh sejumlah ulama di Mesir. Beberapa yang lain diantaranya adalah Qasim Amin, Ali Abd al Raziq, Taha Husain, Naguib Mahfudz, dan Nasr Hamid Abu-Zayd. Jauh sebelum itu, ratusan tahun ketika Daulah Umayyah dan Abbasiyah berkuasa, beberapa kasus serupa pernah terjadi. Umat Islam tidak bisa melupakan represi yang dirasakan oleh Said bin Jabir dan Said bin al Musayyib pada dinasti Umawiyah. Begitu pula dengan Hasan al Basri, Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafii yang mendapat tekanan dari rezim penguasa. Bahkan secara khusus, umat Islam masih merasakan kasus mihnah yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal dan kasus nukbah yang dirasakan Ibn Rusyd (Tashwirul Afkar no. 8 tahun 2000:30). Dan jangan lupa, di Indonesia pun kasus takfir pernah dialamatkan pada Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh muda NU dan punggawa Jaringan Islam Liberal hanya karena menulis sebuah artikel di harian nasional tentang menyegarkan kembali pemahaman Islam pada November 2002.
Karya Farag Fouda yang banyak menuai kontroversi dan hujatan banyak pihak di Mesir adalah ketika ia meluncurkan buku berjudul al Haqiqah al Ghaibah. Dalam bukunya ini ia menceritakan sisi sisi kelam praktik politik umat Islam dan melakukan interpretasi terhadap hubungan Islam sebagai agama serta Islam jika didudukkan dalam bingkai negara. Tak ayal, ia mesti menebus kebebasan berpendapatnya dengan meregang nyawa pada 1992.
Sebagai seorang intelektual, pemikir, dan penggiat hak asasi manusia, Fouda tentu tidak asal tulis dalam membeberkan kebenaran sejarah yang seringkali telah lama dibenamkan oleh sebagian pihak yang berkepentingan. Padahal, Islam sebagai agama tak akan berkurang kemuliaannya jika hanya umatnya pernah bertikai di masa lalu dan melakukan keganjilan sejarah yang mungkin saja dinilai minor di masa kini. Fouda dengan cermat menelisik kembali sumber sumber klasik dalam menemukan sejarah yang dihilangkan, yang ironisnya, sumber sumber bacaan klasik itu sangat dekat dengan keseharian para pengkritik Farag Fouda.
Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ini-Kebenaran yang Hilang penerbit Paramadina-Fouda melakukan pembacaan baru terhadap generasi salaf pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat. Sebuah generasi yang mendapat tempat istimewa karena pernah dididik langsung oleh tangan Rasulullah. Sebuah generasi yang semasa hidupnya pernah bersama sama rasul dan menjadikannya sebagai sumber fatwa utama di tengah umat Islam yang mulai menanjak pamornya. Ini adalah sebuah generasi yang sampai saat ini masih menjadi buah bibir dan berharap generasi seperti ini muncul lagi di jaman ini. Tak heran, ada sebagian golongan menahbiskan dirinya sebagai kaum salafi.
Menurut Fouda, periode salaf adalah periode yang biasa biasa saja, tak ada yang istimewa dengannya, semuanya tampak manusiawi dan berjalan di atas hukum sejarah. Kalaupun ada catatan kesuksesan, diantaranya adalah semakin luasnya kekuasaan Islam yang tidak saja tersebar di jazirah Arab melainkan juga mulai berdenyut dan merambah kawasan Asia, Afrika, dan Eropa. Di sisi lain, catatan memalukan dan memilukan ikut tertoreh pada jaman al-khulafa al-Rasyidun yang dalam sejarah pernah dinahkodai oleh Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian dari kita mungkin tak menyadari bahwa tiga dari empat khalifah ini mengakhiri masa kekuasaannya dengan tragis, bersimbah darah dan menyisakan persoalan bagi periode selanjutnya. Hanya Abu Bakar yang wafat secara normal, tiga lainnya mati keji. Sebenarnya, sejak wafat nabi, friksi itu mulai tampak ke permukaan. Pertentangan kaum Muhajirin dan Anshar dalam menentukan pemimpin pasca nabi adalah pangkal persoalannya dan peristiwa Tsaqifah Bani Saidah adalah puncaknya. Bahkan hingga Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pun, Saad bin Ubadah-seorang pemuka Khazraj-dan sampai meninggalnya melakukan sikap oposisi terhadap kepemimpinan Abu Bakar. Hal ini tentu wajar saja dan bukan aib yang harus ditutup tutupi. Bahwa kekuasaan adalah menggiurkan, bahwa kekuasaan adalah kompetisi, dan dalam tradisi alih kekuasaan selalu saja terjadi persaingan antara mayoritas dan minoritas.
Fouda dalam buku Kebenaran yang Hilang juga mempertanyakan kebijakan yang ditempuh oleh Abu Bakar Shidiq ketika melakukan penumpasan terhadap orang orang yang dituduh murtad. Apakah mereka yang dituduh murtad itu benar benar murtad dari Islam ataukah hanya karena mereka enggan membayar zakatnya kepada Abu Bakar dan Baitul Mal. Kebijakan Abu Bakar dipertanyakan oleh Umar yang merasa tidak sreg, karena orang orang yang ditumpas oleh Abu Bakar tersebut membaca syahadat. Jawaban Abu Bakar menyatakan bahwa pengucapan syahadat ada konsekuensinya, dalam konteks ini yakni menyerahkan zakat ke Baitul Mal. Padahal, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah ijtihad. Sementara bagi Umar, tulis Fouda, ketika mempertanyakan kebijakan Abu Bakar, ia sebetulnya sedang teringat akan sebuah hadis rasul yang menyatakan bahwa seorang muslim tidak berhak dibunuh kecuali tiga alasan: berzina setelah rumah tangga, murtad setelah beriman, atau diqisas karena melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Menurut Fouda, hal ini menunjukkan bahwa ijtihad Abu Bakar yang notabene orang dekat Muhammad Saw tidaklah sakral, ia bukan teks suci tanpa ruang kritik, buktinya Umar pun pernah menanyakan ihwal kebijakannya. Dan setelah Abu Bakar meninggal dan diganti oleh khalifah selanjutnya, kebijakan ini pun tak dilanggengkan.
Pengganti Abu Bakar, yakni Umar, menurut Fouda adalah sosok agamawan dan negarawan yang berani melakukan ijtihad tanpa kehilangan substansi teks yang dimaknainya. Ia juga adalah sosok asketis-walau ia khalifah- tanpa tanding pada jamannya. Al Mas’udi dalam Muruj al Dzahab seperti yang ditulis oleh Fouda menceritakan “Ketika Umar melaksanakan haji, selama perjalanan pergi dan pulang ke Madinah, ia hanya menyedekahkan uang sekitar 16 Dinar. Ia bahkan mengatakan kepada anaknya , Abdullah: ‘Kita telah berbelanja secara berlebihan dalam perjalanan ini’.” Bandingkan “kekayaan” Umar dengan Usman ketika wafatnya. Tatkala Usman terbunuh, di dalam brankasnya terdapat 30 juta 500 ribu dirham, serta 100 ribu dinar. Semuanya dijarah dan hilang tak bersisa dalam pemberontakan yang mengakhiri hidupnya. Ia juga meninggalkan seribu ekor unta di Rabzah, dan sejumlah pemberian sedekah sekitar 200 ribu dinar untuk Beradis, Khaibar, dan Wadil Qura.
Farag Fouda dengan tajam mengatakan bahwa tak ada salahnya para sahabat nabi menjadi kaya semau maunya dengan apa yang diusahakan, namun, lanjut Fouda, mengukur kredibilitas pemuka pemuka sahabat nabi tentu mesti berbeda dengan orang kebanyakan, mereka mestinya lebih asketis daripada yang lain. Karena, di mata generasi selanjutnya, para sahabat yang dekat dengan nabi mempunyai posisi yang terhormat dilihat dari dari segi keimanan dan perilakunya sehari hari.
Fouda tak hanya mengupas pembacaan ulang terhadap sejarah al-Khalifah al-Rasyidun, tetapi juga menguliti kebobrokan para khalifah masa Umayyah dan Abbasiyah. Di balik kecemerlangan prestasi yang diukir oleh keduanya, tersimpan borok borok sejarah yang mestinya tidak terulang lagi di masa depan. Terbukti, sistem khilafah yang dianutnya tak serta merta membawa kedamaian, rasa aman, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pada titik ini kita mesti menyadari bahwa sejarah Islam tak hanya menyimpan suka cita tetapi juga banyak membawa duka cita yang tak tersampaikan secara terang dan jelas.
Hanya dengan jujur kepada sejarah lah kita bisa menjadi orang yang bijaksana sebagaimana diungkapkan Sejarawan Syafii Ma’arif dalam otobiografinya Titik titik Kisar di Perjalananku bahwa “semua hasil sejarah pasti terikat dengan ruang dan waktu. Masa lampau adalah milik mereka yang menciptakan, bukan milik kita. Milik kita hanyalah semua yang kita ciptakan, sekalipun kita tidak mungkin melompat dari sebuah kekosongan. Disinilah perlunya orang belajar sejarah secara cerdas, jujur, dan kritikal”(2006:402).

Share

Post a Comment