Cara Mengajar Matematika, Bagaimana?
Bagaimana sih cara mengajar
matematika itu? Bila pertanyaan ini diajukan ke guru matematika, tentunya akan dapat jawaban
berdasarkan pengalamannya. Bila pertanyaan ini diajukan pada guru, yang bukan
guru matematika, kemungkinan besar masih dapat jawaban juga berdasarkan
pengalamannya mengajar bidang lain (ia akan mereka-reka, menganalogikan cara
mengajarnya pada cara mengajar matematika). Namun, bila pertanyaan ini diajukan
ke sembarang orang yang bukan guru, apa jawabannya? Tentunya mereka juga bisa
menjawab berdasarkan pengalamannya ketika menjadi siswa di sekolah. Pertanyaan
ini hampir mustahil bisa dijawab oleh orang yang sama sekali tak pernah sekolah
atau mengenyam pendidikan, mereka ini hampir dipastikan tak kenal dengan
“mahluk” yang namanya matematika.
Baiklah, bila pertanyaan itu
diajukan ke saya. Apa jawaban saya? Sebentar, sebelum saya jawab, saya akan
menjawab pertanyaan ini dengan memposisikan diri sebagai: (1) siswa yang pernah
belajar matematika, ini bagian yang akan paling sering saya gunakan untuk
menjawab karena saya pernah belajar matematika sejak SD; dan (2) guru, yang
pernah belajar mengajar matematika.
Jawaban saya itu begini. Hingga saat
ini, kata beberapa literature dan para ahli, tak ada cara terampuh yang dapat
digunakan untuk mengajar matematika secara efektif. Cara apapun yang digunakan
ada kelebihan dan ada kelemahannya. Yang saya maksud “cara mengajar” di sini
bisa meliputi metoda/teknik mengajar atau pun pendekatan mengajar (lebih
tepatnnya pembelajaran). Apa itu saja jawaban saya terhadap pertanyaan
tersebut?
Yang saya pahami, orang bertanya
tentang cara mengajar itu, artinya bagaimana sih sebenarnya agar tujuan
pembelajaran matematika itu tercapai? Tujuan pembelajaran matematika yang saya
maksud, ada dua hal. Tujuan jangka pendek, disebut juga tujuan materil dan
tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek pembelajaran matematika,
sederhananya, adalah bahwa, siswa diaharapkan dapat memahami materi matematika
yang dipelajarinya dan dapat menggunakannya pada pelajaran lain atau pada
kehidupan (praktis) nyata dan bekal untuk jenjang pendidikan selanjutnya.
Sedangkan tujuan jangka panjang pembelajaran matematika, sederhananya, adalah
bahwa siswa itu dapat mengambil “nilai-nilai matematika” dan mengaplikasikannya
untuk kehidupan. Nilai-nilai matematika yang saya maksud meliputi: penalaran,
kedisiplinan = ketaat-azas-an, kejujuran, kebertanggungjawaban, kesetiakawanan,
keimananan, dsb.
Setidaknya ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan agar tujuan pembelajaran matematika itu dapat tercapai.
Pertama: Gurunya itu sendiri bagaimana?
Apakah sang guru/pengajar, yang akan
mengajarkan matematika itu, kompeten, layak, sesuai keahliannya? Seorang
guru/pengajar matematika dikatakan kompeten bukan hanya teruji dari
kemampuannya saja dalam menguasai materi. Tapi juga apakah ia mampu menyampaikan
materi itu pada orang lain, siswa? Syarat minimal seseorang (guru, pengajar)
bisa menyampaikan materi yaitu, bisa bicara di depan siswa untuk menyampaikan
apa yang dipahaminya. Banyak yang mengerti dan paham tentang matematika, namun
sukar untuk bisa menyampaikannya ke orang lain. Hal ini pernah saya saksikan
sendiri ketika jadi siswa. Tapi, saya percaya, pada guru yang mampu
menyampaikan materi matematika dengan baik, pemahamannya saya fikir baik juga.
Dengan demikian, penguasaan materi
dan kemampuan menyampaikannya (ke orang lain) adalah syarat perlu untuk mampu
mencapai tujuan pembelajaran matematika, tapi ingat ini belum cukup. Belum
cukup menjamin bahwa tujuan pembelajaran matematika itu akan tercapai.
Seorang guru/pengajar yang pemahaman
materinya dan penyampainnya bagus pun masih perlu belajar, memperkaya diri
dengan banyak membaca, tak berpuas diri dengan kemampuan yang sudah dimiliki,
dan tentunya perlu melakukan persiapan sebelum pembelajaran. Sehebat apapun
seorang guru, bila mengajarnya tidak dipersiapkan, saya pesimis tujuan
pembelajaran itu akan tercapai. Bagaimana dengan yang sudah berpengalaman? Ya,
tanpa kecuali.
Kedua: Siswanya itu bagaimana?
Yang perlu diperhatikan oleh seorang
guru/pengajar, yang akan mengajar matematika, adalah bahwa: siswa yang belajar
matematika itu kemampuannya beragam. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada
yang biasa saja, dan ada yang kurang cepat. Mereka semua, pastinya ingin bisa
matematika yang mereka pelajari.
Oleh karena itu, kita, selaku guru
yang mengajar, tak boleh menganggap kemampuan mereka sama dengan kemampuan
kita. Maksudnya, jangan menganggap pemahaman mereka, pada saat kita mengajar
mereka, sama dengan pemahaman kita yang sudah belajar sebelumnya. Kebanyakan
dari mereka (siswa) perlu waktu yang relatif lebih lama dibanding kita yang
sudah belajar, yang sudah mengenal materi sebelumnya, yang sudah pengalaman
sebelumnya, yang sudah mahir sebelumnya, dan yang sudah pandai sebelumnya.
Jadinya, bila menerangkan, jangan terlalu cepat pun jangan terlalu lamban. Ini
juga bukan berarti menganggap remeh kemampuan siswa. Seringkali yang terjadi,
guru menerangkan dengan tempo yang sangat cepat, sesuai kecepatannya dalam
memahami materi, kurang memperhatikan apakah siswanya dapat mengikutinya atau
tidak. Guru menerangkan seenaknya saja. Tindakan seperti ini, kemungkinan besar
hanya bisa diikuti oleh sebagian kecil siswa saja, hanya yang pandai saja.
Sedangkan sebagian besar siswa lain (saya perkirakan sekitar 90 %), akan merasa
terseret-seret, tak sanggup mengejar kecepatan guru dalam menerangkan.
Mungkin penjelasan ini sulit
dipahami oleh mereka (guru/pengajar atau siapapun) yang (sangat) pandai
matematika, yang belum pernah merasa kesulitan dalam belajar matematika. Bagi
orang-orang semacam ini, mereka selalu menganggap bahwa pemahaman siswa yang
diajarnya sama dengan dirinya yang sudah pandai itu. Biasanya, bila mereka
berhadapan dengan siswa yang kurang cepat dalam belajar, akan menganggap
“bodoh” ke siswanya. Ungkapan-ungkapan semacam mengumpat dan mencela ke siswanya,
seringkali sulit terhindari. Misalkan ada siswa SMA yang tak bisa menentukan
nilai x yang memenuhi persamaan “x + 1 = 3″. Guru yang termasuk
golongan ini, kemungkiann besar akan berkata “Masa sih gitu aja engga
bisa?” “Ngerjain soal yang dasar begitu aja engga bisa,
kenapa kamu bisa lulus SMP?”, “Cape deeeeeh“, dsb. Tapi, bagi saya,
kata-kata semacam ini bukanlah kata-kata yang pantas keluar dari seseeorang
yang dinamakan guru (pendidik)/pengajar. Guru/pengajar semacam ini tak dapat
memposisikan dirinya pada diri siswa yang diajarnya, pada siswa yang ingin
belajar, pada siswa yang ingin mengerti dengan apa yang dipelajarinya. Ia
“membunuh” siswanya secara perlahan.
Kesal, kecewa, jengkel terhadap
siswa kita yang engga ngerti-ngerti itu biasa, manusiawai. Nah, di
sinilah letak diperlukannya jiwa kesabaran, ketabahan, rasa kasih sayang dan
empati pada siswa kita yang sedang belajar. Ingat, mereka juga manusia yang
perlu diperlakukan secara manusiawi, perlu dihargai. Bagaimanapun kemampuan
mereka.
Oleh karena itu saya mengajak pada
bapak dan ibu guru atau siapapun pengajar matematika untuk memposisikan diri
kita pada posisi siswa. Bayangkan bila Anda tak mengerti akan sesuatu, padahal
Anda ingin sekali mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya tentang sesuatu
itu, karena Anda ingin bisa. Bayangkan pula, bagaimana perasaan Anda, bila yang
menjelaskannya sangat cepat, kurang memperhatikan Anda, tak mempedulikan Anda
bisa mengerti atau tidak. Pastinya, sakit rasanya, pedih hati Anda dibuatnya,
saya (insya Allah) jamin Anda pasti merasa sengsara, Anda akan merasakan yang
namanya penderitaan batin. Rasanya, tak bisa dibayangkan, sengsara seumur-umur.
Anda akan merasa bodoh, minder, takut, dan sebagainya. Nah, siswa juga SAMA
seperti Anda yang butuh mengerti sesuatu (dalam hal ini Matematika).
Oh iya, banyak juga guru yang hanya
memperhatikan siswa-siswanya yang pandai saja. Siswa yang pandai dijadikan
tolak ukur apakah yang ia sampaikan itu dapat diikuti atau tidak. Guru semacam
ini asyik menjelaskan, asyik menyampaikan materi. Untuk mengecek apakah
siswanya mengerti atau tidak, ia hanya mengecek pada siswa yang pandai saja.
Akibatnya, banyak siswa lain tak dapat mengikuti pembelajaran, siswa lain tak
mengerti materi yang mereka pelajari.
Dengan memperhatikan hal ini,
seharusnya kita, selaku guru introspeksi diri, apakah kita sudah bener ngajarnya
atau belum? Sudah memperhatikan kondisi dan kemampuan siswa atau belum?
Jangan-jangan, banyaknya siswa yang tak mengerti itu gara-gara kita tak
memperhatikan mereka, kurang peka terhadap mereka, gara-gara kita masa bodoh
apakah mereka mengerti atau tidak, yang penting kita sudah mengajar saja, sebodo
amat mereka mau mengerti atau tidak, dan sebagainya.
Ketiga: Sarana dan prasarana pembelajarannya bagaimana?
Hal ini pun sedikit banyaknya
berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pembelajaran. Yang saya maksud sarana
dan prasaran di sini bisa meliputi: kelayakan tempat belajar (ruang kelas,
ada-tidaknya laboratorium, dsb), ketersediaan alat-alat belajar (papan tulis,
buku text, dsb), ketersediaannya media pembelajaran, dlsb.
Yang keempat, apa ya?
(Silakan ditambahi sendiri! Tulisan ini masih dalam proses pemikiran, jadinya
kapan saja bisa saya perbaharui).
Lho, cara mengajarnya bagaimana sih sebenarnya? Kok dari
tadi belum diperjelas?
Sekali lagi saya tegaskan,
berdasarkan literature dan pendapat para ahli, tak ada cara mengajar matematika
terbaik/terampuh? Dengan demikian, sederhanyanya begini saja dulu, lakukan saja
cara mengajar yang selama ini sudah bisa Anda lakukan! Namun perhatikan dan
pertimbangkan beberapa hal yang sudah dituliskan di atas, silakan kalau perlu
lengkapi dengan hal-hal yang luput dari perhatian saya. Silakan Anda pakai
metode apapun, misalnya ceramah (toh ini yang paling banyak dipakai dan
digemari guru-guru matematika di Indonesia, bahkan juga di dunia mungkin?),
silakan juga metode-metode lama atau terbaru lainnya. Semua metode ataupun
pendekatan pembelajaran, masing-masing punya keistimewaan. Metode atau
pendekatan apapun yang Anda pakai, bila dioptimalkan, niscaya tujuan
pembelajaran matematika yang diidam-idamkan itu, insya Allah, dapat dicapai.
Pada kesempatan lain (di artikel
lain mungkin), insya Allah saya akan tuliskan bagaimana cara mengajar
matematika dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu. Yang sedang saya
pelajari sekarang, insya Allah hingga satu setengah tahun kedepan, adalah
tentang pendekatan RME (Realistic Matematics Education).
Wahai pembaca sekalian, menurut Anda
bagaimana?
No comments:
Post a Comment